Kisah ini terjadi di awal tahun 2000. Saat masih kanak-kanak, kami bermain seperti halnya anak-anak pada umumnya.
“Hoom-pim-pah ..”
“Agus jaga..”. Ia menutup mata di bawah pohon kersen. Kami, anak-anak
yang lain, lari mencari tempat persembunyian. Aku lari ke warung Ma’ Ati
yang sudah tutup. Ayu lari mengikutiku. .Aku merangkak masuk di bawah
meja warung itu, Ayu mengikutiku dari belakang
dan jongkok di sebelahku. Ayu dan aku mengintip lewat celah kecil di
gedek di bawah meja yang sempit itu mencari kesempatan untuk lari
keluar. Entah mengapa, aku selalu merasa senang kalau berada dekatnya.
Waktu itu rasanya tidak ingin aku keluar dari tempat persembunyianku.
Apakah ini yang namanya “cinta anak-anak”? Aku tak tahu. Yang aku tahu
Ayu memang cantik. Aku juga sadar kalau aku juga ganteng (teman-temanku
bilang begitu). Hingga kalau kami main pangeran-pangeranan, rasanya
cocok kalau aku jadi pangeran, Ayu jadi puteri. Juga dalam permainan
lain Ayu cuma mau ikut dalam kelompokku. Teman-temanku sering
memasang-masangkan aku dengan dia.
Masa kecil kami memang
menyenangkan. Sampai tiba saatnya aku harus berpisah dengan
teman-temanku karena harus mengikuti ayahku yang ditugaskan di kota
lain. Waktu itu aku masih duduk di kelas empat SD. Sejak itu aku tak
pernah dengar kabar apa-apa dari teman-temanku itu, termasuk Ayu.
Dua belas tahun kemudian.
Aku menghadiri sebuah pesta pengantin. Lagu The Wedding mengalun
mengiringi para tamu yang asyik menikmati hidangan prasmanan.
Gadis-gadis tampak cantik dengan dandanan dan gaun pesta mereka. Sampai
Oom Andi, salah seorang pamanku menepuk pundakku.
“Eh Rik, apa kabar?”
“Oh, baik saja oom.”
“Akan kupertemukan kau dengan seseorang, ayo ikut aku.”
Aku mengikuti oom-ku itu menuju ke seorang gadis yang sedang asyik
menikmati ice creamnya. Gadis itu mengenakan gaun pesta berwarna kuning
dengan bahu terbuka, cantik sekali dia. Begitu aku melihat dia, aku
segera teringat pada seseorang.
“Apakah, apakah dia ..?”
“Benar Rik, dia Ayu.”
“Ayu, ini kuperkenalkan pada temanmu.”
Gadis itu tampak agak terperanjat, tetapi sekalipun terlihat ragu-ragu, tampaknya ia pun mengenaliku.
“Ini Riki, tentu kamu kenal dia,” kata oomku.
Kami bersalaman.
“Wah, sudah gede sekali kamu Ayu.”
“Memangnya suruh kecil terus, memangnya kamu sendiri bagaimana?” katanya sambil tertawa.
Tertawanya dan lesung pipinya itu langsung mengingatkanku pada
tertawanya ketika ia kecil. Aku benar-benar terpesona melihat Ayu, aku
ingat Ayu kecil memang cantik, tetapi yang ini memang luar biasa. Apakah
karena dandanannya? Ah, tidak, sekalipun tidak berdandan aku pasti juga
terpesona. Gaun pestanya yang kuning itu memang tidak mewah, tetapi
serasi sekali dengan tubuhnya yang semampai. Bahunya terbuka, buah
dadanya yang putih menyembul sedikit di atas gaunnya itu membedakannya
dengan Ayu kecil yang pernah kukenal.
“Sudah sana ngobrol-ngobrol tentu banyak yang diceritain,” kata oomku seraya meninggalkan kami.
“Tuh ada kursi kosong di situ, yuk duduk di situ,” kataku.
Kamipun berjalan menuju ke kursi itu.
“Bagaimana Ayu, kamu sekarang di mana?”
“Aku sekarang tinggal di Semarang, kamu sendiri di mana?”
“Aku kuliah di Bandung, kamu bagaimana?”
Ia terdiam, menyendok ice creamnya lalu melumat dan menelannya,
perlahan ia berkata, “Aku tidak seberuntung kamu Rik, aku sudah bekerja.
Aku hanya sampai SMA. Yah keadaan memang mengharuskan aku begitu.”
“Bekerja juga baik Ayu, tiap orang kan punya jalan hidup sendiri- sendiri. Justru perjuangan hidup membuat orang lebih dewasa.”
Kira-kira satu jam kami saling menceritakan pengalaman kami. Waktu itu
umurku 22, dia juga (sejak kecil aku sudah tahu umurnya sama dengan
umurku). Perasaan yang pernah tumbuh di sanubariku semasa kecil
tampaknya mulai bersemi kembali. Rasanya tak bosan-bosan aku memandang
wajahnya yang ayu itu. Apakah cinta anak-anak itu mulai digantikan
dengan cinta dewasa? Aku tidak tahu. Aku juga tidak tahu apakah ia
merasakan hal yang sama. Yang pasti aku merasa simpati padanya. Malam
itu sebelum berpisah aku minta alamatnya dan kuberikan alamatku.
Sekembali ke Bandung kusurati dia, dan dia membalasnya. Tak pernah
terlambat dia membalas suratku. Hubungan kami makin akrab. Suatu ketika
ia menyuratiku akan berkunjung ke Bandung mengantar ibunya untuk suatu
urusan dagang. Memang setelah ayahnya pensiun, ibunya melakukan dagang
kecil-kecilan. Aku senang sekali atas kedatangan mereka. Kucarikan
sebuah hotel yang tak jauh dari rumah indekosku. Hotel itu sederhana
tetapi cukup bersih.
Pagi hari aku menjemput mereka di stasiun
kereta api dan mengantarnya ke hotel mereka. Sore hari, selesai kuliah,
aku ke hotelnya. Kami makan malam menikmati sate yang dijual di
pekarangan hotel. Pada malam hari kuajak Ayu berjalan-jalan menikmati
udara dingin kotaku. Entah bagaimana mulainya, tahu-tahu kami mulai
bergandengan tangan, bahkan kadang-kadang kulingkarkan tanganku di
bahunya yang tertutup oleh jaket. Kami berjalan menempuh jarak beberapa
kilometer, jarak yang dengan Vespaku saja tidak terbilang dekat. Tetapi
anehnya kami merasakan jarak itu dekat sekali. Sekembali di hotel kami
masih melanjutkan pecakapan di serambi hotel sampai lewat tengah malam,
sementara ibu Ayu sudah mengarungi alam mimpi. Besok sorenya aku ke
hotel untuk mengantarkan mereka ke stasiun untuk kembali ke kota mereka.
Ketika aku tiba di hotel, ibu Ayu sedang mandi, Ayu sedang mengemasi
barang-barang bawaannya. Aku duduk di kursi di kamar itu. Tiba-tiba
terbersit di pikiranku untuk memberikan selamat jalan yang sangat
pribadi bagi dia. Dengan berdebar aku bangkit dari tempat dudukku
berjalan dan berdiri di belakangnya, perlahan kupegang kedua bahunya
dari belakang, kubalikkan tubuhnya hingga menghadapku.
“Ayu, bolehkah ..?”
Ia tampak gugup, ia menghindar ketika wajahku mendekati wajahnya. Ia kembali membelakangiku.
“Sorry Ayu, bukan maksudku ..”
Ia diam saja, masih tampak kegugupannya, ia melanjutkan mengemasi
barang-barangnya. Terdengar bunyi pintu kamar mandi terbuka, ibu Ayu
keluar.
Di stasiun, sebelum masuk ke kereta kusalami ibunya. Ketika aku menyalami Ayu aku berbisik, “Ayu, sorry ya dengan yang tadi.”
Dia hanya tersenyum. Manis sekali senyumnya itu.
“Terimakasih Rik atas waktumu menemani kami.”
Hubungan surat-menyurat kami menjadi makin akrab hingga mencapai tahap
serius. Aku sering membuka suratku dengan “Ayuku tersayang”.
Kadang-kadang kukirimi dia humor atau kata-kata yang nakal. Dia juga
berani membalasnya dengan nakal. Pernah dia menulis begini, “Sekarang di
sini udaranya sangat panas Rik, sampai kalau tidur aku cuma pakai
celana saja. Tanaman-tanaman perlu disirami (aku juga).”
Membaca
surat itu aku tergetar. Kubayangkan ia dalam keadaan seperti yang
diceritakannya itu. Kukhayalkan aku berada di dekatnya dan melakukan
adegan-adegan romantis dengannya. Aku merasakan ada tetesan keluar dari
diriku akibat khayalan itu. Kuoleskan tetesan itu di kertas surat yang
kugunakan untuk membalas suratnya. (Barangkali ada aroma, atau entah apa
saja, yang membuat ia merasakan apa yang kurasakan waktu itu. Tetapi
aku tak pernah cerita pada dia tentang ini.)
Sampai tiba liburan
semester, aku mengunjungi dia. Aku tinggal di rumahnya selama empat
malam. Inilah pengalamanku selama empat malam itu.
Aku tiba pagi
hari. Setelah makan pagi, aku dan dia duduk-duduk di kamar makan. Aku
melihat Ayu mengenakan cincin imitasi dengan batu berwarna merah muda di
jari manisnya.
“Bagus cincinmu itu. Boleh kulihat?”
Kutarik
tangannya mendekat, tetapi aku segera lupa akan cincin itu. Ketika
lengannya kugenggam, serasa ada yang mengalir dari tangannya ke
tanganku. Jantungku berdebar. Tak kulepas genggamanku, kubawa telapak
tanganku ke telapak tangannya. Kumasukkan jari-jariku di sela
jari-jarinya. Jari-jarinya yang halus, putih dan lentik berada di antara
jari-jariku yang lebih besar dan gelap. Kugenggam dia, dia juga
menggenggam. Kuremas-remas jari- jari itu. Dia membiarkannya. Kami
berpandangan dengan penuh arti sebelum ia bangkit dengan tersipu-sipu,
“Aku bereskan meja dulu.”
Ia pun membereskan meja makan dan mencuci piring. Setelah itu ia
berkemas-kemas untuk pergi bekerja. Siang itu aku tidak kemana- nama,
aku beristirahat sambil membaca buku-buku novel yang kubawa.
Sore
harinya aku, Ayu dan adiknya menonton film di bioskop. Aku ingat ketika
nonton itu aku sempat remas-remasan tangan dengan dia. Setelah pulang
nonton kami duduk-duduk di ruang tamu. Saat itu sekitar pukul sembilan.
Kami hanya ngobrol-ngobrol biasa karena orang-orang di rumah itu masih
belum tidur. Ayu membuat secangkir kopi untukku. Sekitar pukul sepuluh
rumah mulai sepi, orang tua dan adik Ayu sudah masuk ke kamar tidur
masing-masing. Hanya tinggal aku dan Ayu di ruang tamu. Ia duduk di sofa
di sebelah kananku.
Dari obrolan biasa aku mulai berani.
Kulingkarkan tanganku dibahunya. Ayu diam saja dan menunduk. Dengan
tangan kiriku kutengadahkan wajahnya, kudekatkan kepalaku ke wajahnya,
kutarik dia. Berbeda dengan di hotel waktu itu, ia memejamkan matanya
membiarkan bibirku menyentuh bibirnya. Kukecup bibirnya. Cuma sebentar.
Hening, segala macam pikiran berkecamuk di kepalaku (kukira juga di
kepalanya). Aku merasa jantungku berdegup.
Pelan-pelan tangan
kananku kulepas dari bahunya, menyusup di antara lengan dan tubuhnya,
dan kutaruh jari-jariku di dadanya. Ia membiarkan dadanya kusentuh. Aku
melangkah lagi, jari-jariku kuusap-usapkan di situ. Ia membolehkan
bahkan menyandarkan badannya di dadaku. Aku mencium semerbak bau
rambutnya. Aku pun tidak ragu lagi, kuremas-remas payudaranya. Ia tetap
diam dan tampaknya ia menikmatinya.
Setelah beberapa saat ia
menggeser badannya sedikit lalu, seolah tak sengaja, ia menaruh
tangannya di pangkuanku, tepat di atas kancing celanaku. Aku tanggap
isyarat ini. Kubuka ruitsluiting celanaku, kutarik tangannya masuk ke
sela yang sudah terbuka itu. Ia menurut dan ia menyentuh penisku,
jari-jarinya yang tadi pasif sekarang mulai aktif. Walaupun masih
terhalang oleh celana dalam, ia mengusap-usap di situ. Aku melangkah
lebih jauh lagi, tanganku yang berada di dadanya sekarang memasuki
dasternya, menyusup di sela-sela BH- nya dan kuremas-remas payudaranya
langsung. Payudaranya memang tidak terlalu besar tetapi cukup kenyal
dalam remasanku. Dia tak mau kalah, tangannya menyusup masuk ke celana
dalamku dan langsung menyentuh penisku lalu mengenggamnya. Bergetar
hatiku, baru kali itu penisku disentuh seorang gadis, gairahku melonjak.
Dua kali ia menggerakkan genggamannya ke atas ke bawah dan aku tak
tahan .. menyemburlah cairanku membasahi jari-jarinya dan celana
dalamku. Aku mengeluh dan menyandarkan diriku ke sofa. Ia melepaskan
tangannya dari celanaku dan melihat tangannya yang basah.
“Kental ya Rik,” bisiknya.
“Ayu, terlalu cepat ya, ini pengalamanku pertama,” kataku kecewa.
“Aku tahu Rik,” ia memahami.
“Kamu ganti dulu, besok aku cuci yang itu,” lanjutnya.
Ia bangkit ke kamar mandi untuk mencuci tangannya. Aku masuk ke kamar
mengganti celana dalamku. Ketika keluar Ayu sudah berada kembali di
situ. Kami ngobrol-ngobrol sebentar lalu kami pergi tidur. Aku masuk ke
kamarku dan Ayu masuk ke dalam, ke kamarnya.
Malam kedua. Seperti
halnya malam pertama, setelah suasana sepi kami memulai dengan
berciuman. Kalau kemarin hanya kecup bibir sebentar, kali ini aku
mencoba lebih. Mula-mula kukecup bibir bawahnya, lalu bibir atasnya,
lalu lidahku masuk. Lidahku dan lidahnya bercanda. Aku mengecap rasa
manis dan segar di mulutnya, kurasa ia makan pastiles atau permen pedas
sebelumnya. Lalu kami main remas-remasan lagi. Kali itu dia tidak
memakai BH hingga lebih mudah bagiku meremas-remas payudaranya. Seperti
kemarin tangannya pun meraba-raba penisku. Aku sudah khawatir kalau aku
akan cepat keluar seperti kemarin, tetapi rupanya tidak. Aku juga ingin
melakukan seperti yang dia lakukan. Tanganku menuju ke bawah,
kusingkapkan dasternya, tetapi ketika tanganku menuju ke celananya ia
menepisnya. Rupanya ia belum mau sejauh itu. Malam itu kami cuma main
remas-remasan saja. Kuremas-remas payudaranya, dan dia membelai-belai
penisku sementara bibir kami berkecupan. Akhirnya aku tak tahan juga
hingga cairanku menyemprot keluar membasahi tangannya, sama seperti
kemarin. Tetapi aku lebih senang karena kami bisa bermain-main lebih
lama. Aku merasa ada kemajuan, aku lebih percaya diri.
Malam ketiga.
Seperti malam-malam sebelumnya, kami mulai dengan saling berciuman di
sofa. Ketika baru mulai babak remas-remasan aku ingat bahwa aku membawa
sebuah buku seksologi. Kuambil buku itu dan kutunjukkan pada Ayu. Kubuka
pada halaman yang ada gambar alat genital pria. Kujelaskan padanya cara
bekerjanya alat itu. Dia mendengarkannya dengan perhatian. Seolah guru
biologi aku menunjukkan contohnya, kubuka ruitsluiting celanaku.
Kuturunkan celana dalamku hingga penisku menyembul keluar dan
kupertontonkan pada Ayu. penisku memang beda dengan yang di gambar,
kalau yang di gambar itu lunglai, penisku berdiri tegak. Ayu
memperhatikan penisku itu.
“Itu lubangnya ada dua ya?” tanyanya, “Satu untuk kencing, satu lagi untuk ngeluarin?”
“Ah, engga. Cuma ada satu,” kataku sambil tertawa.
Kubuka lubang kecil itu agak lebar untuk menunjukkan bahwa lubangnya
memang cuma satu. Ujung itu merah mengkilat basah oleh cairan bening.
Kubawa telunjuknya mengusapnya dan ia membiarkan jarinya basah. Kemudian
jari-jari lentik itu menyusuri urat-urat di situ dari atas ke bawah.
“Rupanya jelek, tapi kok bisa bikin enak ya,” katanya sambil tertawa.
“Eh, tahunya kalau enak. Memang sudah pernah mencoba?” sahutku.
“Katanya sih,” sahutnya sambil tertawa.
Jemarinya pun memain-mainkan penisku.
“Kalau ini isinya apa?” Candanya sambil memain-mainkan kantung bolaku.
“Biji salak kali,” jawabku sambil tertawa. Ia juga tertawa.
Lalu tangannya menggenggam penisku dan menggosok-gosoknya.
“Jangan keras-keras Ayu. Nanti keluar,” bisikku. Diapun menurut, dia
masih menggenggam tetapi tidak menggosok hanya mengusap-usap perlahan.
“Boleh aku lihat punyamu?” tanyaku.
“Jangan ah,” jawabnya.
“Sebentar saja,” kataku.
Ia pun menurut. Ia membiarkan tanganku menyingkap dasternya dan
menurunkan celana dalamnya hingga ke lutut. Aku menelan ludah, baru kali
itu aku melihat alat kelamin wanita, sebelumnya aku melihatnya cuma di
gambar-gambar. Tanganku pun menuju ke situ. Kuusap-usap rambutnya lalu
jariku membuka celah di situ dan kulihat basah di dalamnya.
“Kok basah kuyup begini.”
“Tadi kamu juga.”
Kutengok penisku, sudah kering memang, karena diusap oleh Ayu, tetapi
aku melihat di ujungnya mulai membasah lagi. Aku ingat ketika membaca
buku seksologiku ada bagian yang namanya “labia majora”, ada “labia
minora”, ada “clitoris.” Aku mencoba mencari tahu yang mana itu. Aku
mencoba membuka celahnya lebih lebar tetapi ia menepis tanganku.
“Sudah ah, malu,” katanya.
Ia kembali menaikkan celana dalamnya.
“Kamu curang Ayu. penisku sudah kamu lihat dari tadi,” kataku bercanda.
“Kan katamu cuma lihat sebentar.”
Susasana hening. Kupeluk dia. Kembali kami berciuman. Tangannya kembali
mengusap-usap penisku. Tanganku juga menyusup ke celana dalamnya
(dasternya masih menyingkap). Dia tidak menolak. Kuusap-usap rambut di
balik celana dalam itu dan jari-jariku pun menggelitik di situ. Aku
merasakan basahnya. Kurebahkan dia di sofa, kutarik celana dalamnya.
Tapi Ayu menolak tanganku dan berbisik,
“Di kamar saja Rik.”
Aku sadar, di situ bukan tempat yang tepat.
“Kamu masuk duluan,” katanya.
Akupun masuk ke kamarku melepaskan seluruh pakaianku lalu aku
merebahkan diri menunggu Ayu. Setelah beberapa menit Ayu masuk membawa
handuk kecil lalu mengunci pintu. Ia menghempaskan diri di sisiku. Aku
segera tahu bahwa dia tidak mengenakan celana dalam lagi. Segera kulepas
dasternya. Tak ada apa-apa lagi yang menutupi kami. Tanpa basa-basi
lagi kami segera berpelukan dan berkecupan dengan ganas. Tangan-tangan
kami saling meraih, menyentuh, meremas apa saja untuk bisa saling
menggairahkan. Kugigit putingnya. Ia menggelinjang. Ia bangkit dan
membalas dengan mengulum penisku. Ganti aku yang menggelinjang. Kami
melakukan itu mungkin sepuluh menit. Gairah tak tertahankan lagi.
“Rik, masukkan saja..,” bisiknya memohon.
Ayu merebahkan dirinya telentang. Aku mengambil posisi di atasnya.
Kedua pahanya membuka lebar menampung tubuhku, lalu kedua kakinya,
seperti juga kedua tangannya, melingkari tubuhku. Ujung penisku
mencari-cari lubang punyanya. Setelah ketemu aku dorong sedikit. Ia agak
mengerang.
“Pelan-pelan Rik,” bisiknya.
Kudorong penisku
pelan-pelan, sekali, dua kali, dan akhirnya tembus. Ia menggelinjang dan
mengeluh. Kami berdua merasa di awang- awang. Rasanya bumi ini hanya
milik kami berdua. Kami berdua menggerak-gerakkan tubuh kami mencari
sentuhan-sentuhan yang paling peka.
Kenikmatan makin meninggi, setelah beberapa saat gerakan tubuhnya makin kencang lalu ia memelukku erat-erat seraya merintih,
“Rik, Rik,..” Aku juga tak tahan dan segera menyusulnya,
“Ayu..” Dia memelukku erat, bibir kami berkecupan ketika benihku
menyemprot di dalamnya. Cairanku menyatu dengan cairannya. Selama
beberapa menit kami masih dalam posisi itu.
“Rik, aku cuma ingin sama kamu, engga ada yang lain lagi,” katanya.
“Begitu juga aku Ayu, aku sayang kamu,” kataku sambil membelai pipinya. Lalu kukecup bibirnya, mesra dengan segenap perasaanku.
Sekitar setengah jam kami masih berpelukan terbuai oleh pengalaman
barusan. Lalu kami bangkit. Aku lap penisku dengan handuk kecil, dan ia
pun mengelap vaginanya, aku lihat ada darah di handuk itu. Lalu kami
rebah berhadapan dan kami berpelukan lagi dan tak pakai apa-apa. Kami
pun tertidur.
Menjelang pagi kurasakan Ayu bangun. Ia akan mengenakan dasternya.
“Aku harus kembali ke kamarku Rik, sudah pagi.”
Tetapi aku menarik tangannya hingga ia kembali rebah di sisiku.
“Masih setengah tiga Ayu, di sini dulu.”
Penisku pun kembali tegang dan keras. Ayu melihatnya.
“Rupanya si kecilmu sudah siap lagi Rik,” candanya.
Ia pun bangkit lalu tubuhnya menindih tubuhku yang rebah telentang. Ia
mengecupi leherku kiri dan kanan bertubi-tubi. Akhirnya bibir itu mampir
di bibirku. Lidahku dan lidahnya berbelitan, sebentar dalam mulutku,
sebentar dalam mulutnya. Lalu ia mengangkat tubuhnya sedikit,
mengarahkan lubangnya ke ujung penisku lalu ia mendorongkan tubuhnya ke
belakang hingga penisku masuk ke dalamnya sepenuhnya. Ia duduk di
perutku. Tanganku meremas- remas payudaranya dan ia menggoyang-goyangkan
tubuhnya di atasku. Mula-mula gerakannya tak terlalu cepat tetapi
semakin lama ritme gerakannya makin meninggi lalu ia rebah dalam
pelukanku, aku mendengar desahnya penuh kenikmatan. Namun aku masih
tegar. Ganti ia yang kutelentangkan, aku berada di atasnya, kugerakkan
tubuhku. Beberapa saat kemudian kenikmatanpun menjalar di seluruh
tubuhku. Malam itu tak banyak kata-kata yang kami ucapkan, tetapi
tubuh-tubuh kami telah saling bicara mencurahkan seluruh perasaan kami
yang terpendam selama berbulan-bulan. Jam setengah empat sudah, ia
mengenakan dasternya mengecup pipiku dan kembali ke kamarnya. Aku pun
tertidur dengan rasa bahagia.
Malam keempat. Kami mulai dengan
bercium-ciuman sebentar di sofa. Kami tak mau berlama-lama di situ, kami
pun masuk kamar. Setelah mengunci pintu ia melepaskan dasternya. Aku
juga melepaskan pakaianku. Ternyata di balik daster itu ia mengenakan
blouse dan celana mini tipis yang tak terlampau ketat berwarna biru
muda. payudaranya tidak terlalu besar tetapi cukup menonjol di balik
blousenya itu, putingnya tampak jelas di balik blousenya yang transparan
itu dan di celananya aku juga bisa melihat rambutnya menerawang. Aku
terpesona melihat Ayu berdiri di depanku dengan pakaian begitu seksi.
Rambutnya yang bergerai panjang, tubuhya yang semampai sangat serasi
dengan yang dipakainya. Aku duduk terpana di tempat tidur memandangnya.
Kalau saja aku bisa memotretnya pasti tiap malam kupandangi foto itu
dengan penuh pesona.
“Luar biasa Ayu, cantik sekali kamu. Di mana kamu beli bajumu itu?”
Dia tidak menjawab, hanya tersenyum. Ia menuju tempat tidur dan
merebahkan diri. Aku pun rebah di sisinya. Kubelai putingnya di balik
blousenya itu. Lalu kuusap celananya dan jari-jariku merasakan kemresak
rambut-rambut di baliknya. Lalu kami rebah berhadapan. Kusisipkan
penisku melalui sela celana mininya menyentuh vaginanya lalu kudekap dan
kucium dia. Beberapa menit kami berciuman. Lalu ia bangkit mengecup
dadaku di berbagai tempat.
Kulepas celana mini dan blousenya.
Sekarang tak ada apa-apa lagi yang melekat di tubuh kami. Aku duduk dan
ia duduk di pangkuanku berhadapan dengan aku. Punya kami saling
menempel. penisku berdiri tegak dikelilingi oleh rambut-rambutnya dan
rambut-rambutku, hingga penisku tampak seolah-olah punyanya juga. Segera
kamipun berdekapan erat, beciuman sambil duduk. Cukup lama kami
bercumbu rayu dengan berbagai cara. Seperti malam sebelumnya, malam itu
kami melakukan lagi dua kali.
Esoknya aku harus kembali ke kotaku.
Hari itu Ayu mengambil cuti seharian ia menemaniku. Sore hari Ayu
mengantarku ke stasiun kereta api. Kulihat matanya berkaca-kaca ketika
aku menyalami dia.
“Datang lagi ya Rik, malam ini aku akan memimpikanmu,” katanya ketika aku akan menaiki kereta.
Ketika kereta bergerak meninggalkan stasiun aku masih melihat dia melambaikan tangannya sampai ia hilang dari pandanganku.
“Aku pasti datang lagi Ayu,” tanpa sadar kuucapkan kata-kata itu.
Antisipasi Gempa Berikutnya, Pemerintah akan Bangun Rumah Tahan Gempa di Lombok
BalasHapusMarquez Tercepat di Sesi Latihan Bebas Kedua MotoGP Austria
Cara Menpora Jaga Psikologis Atlet Menjelang Asian Games
Wisma Atlet Kemayoran Sudah Dihuni 251 Atlet dan Ofisial
Tampilan Avanza Baru di GIIAS 2018
Yuk Intip Gamelan Kodok Peminta Hujan Bikinan Sunan Kalijaga
Kopi Kekinian : Kopi Kenalan, Nyemil Green Tea Cheesecake Sambil Menyeruput Es Kopi Susu
Sherina Munaf Pilih BerVegetarian
Alergi Makanan, Wanita Ini Pilih Konsumsi Serangga dan Cacing
Pakai Maser Untuk Cegah Penularan Flu
prediksi real madrid vs getafe 20 agustus 2018
BalasHapusprediksi real madrid vs getafe 20 agustus 2018
prediksi real madrid vs getafe 20 agustus 2018
prediksi real madrid vs getafe 20 agustus 2018
prediksi real madrid vs getafe 20 agustus 2018
prediksi real madrid vs getafe 20 agustus 2018
prediksi real madrid vs getafe 20 agustus 2018
prediksi real madrid vs getafe 20 agustus 2018
prediksi real madrid vs getafe 20 agustus 2018
prediksi real madrid vs getafe 20 agustus 2018