Kisah ini terjadi di awal tahun 2000. Saat masih kanak-kanak, kami bermain seperti halnya anak-anak pada umumnya.
“Hoom-pim-pah ..”
“Agus jaga..”. Ia menutup mata di bawah pohon kersen. Kami, anak-anak
yang lain, lari mencari tempat persembunyian. Aku lari ke warung Ma’ Ati
yang sudah tutup. Ayu lari mengikutiku. .Aku merangkak masuk di bawah
meja warung itu, Ayu mengikutiku dari belakang
dan jongkok di sebelahku. Ayu dan aku mengintip lewat celah kecil di
gedek di bawah meja yang sempit itu mencari kesempatan untuk lari
keluar. Entah mengapa, aku selalu merasa senang kalau berada dekatnya.
Waktu itu rasanya tidak ingin aku keluar dari tempat persembunyianku.
Apakah ini yang namanya “cinta anak-anak”? Aku tak tahu. Yang aku tahu
Ayu memang cantik. Aku juga sadar kalau aku juga ganteng (teman-temanku
bilang begitu). Hingga kalau kami main pangeran-pangeranan, rasanya
cocok kalau aku jadi pangeran, Ayu jadi puteri. Juga dalam permainan
lain Ayu cuma mau ikut dalam kelompokku. Teman-temanku sering
memasang-masangkan aku dengan dia.
Masa kecil kami memang
menyenangkan. Sampai tiba saatnya aku harus berpisah dengan
teman-temanku karena harus mengikuti ayahku yang ditugaskan di kota
lain. Waktu itu aku masih duduk di kelas empat SD. Sejak itu aku tak
pernah dengar kabar apa-apa dari teman-temanku itu, termasuk Ayu.
Dua belas tahun kemudian.
Aku menghadiri sebuah pesta pengantin. Lagu The Wedding mengalun
mengiringi para tamu yang asyik menikmati hidangan prasmanan.
Gadis-gadis tampak cantik dengan dandanan dan gaun pesta mereka. Sampai
Oom Andi, salah seorang pamanku menepuk pundakku.
“Eh Rik, apa kabar?”
“Oh, baik saja oom.”
“Akan kupertemukan kau dengan seseorang, ayo ikut aku.”
Aku mengikuti oom-ku itu menuju ke seorang gadis yang sedang asyik
menikmati ice creamnya. Gadis itu mengenakan gaun pesta berwarna kuning
dengan bahu terbuka, cantik sekali dia. Begitu aku melihat dia, aku
segera teringat pada seseorang.
“Apakah, apakah dia ..?”
“Benar Rik, dia Ayu.”
“Ayu, ini kuperkenalkan pada temanmu.”
Gadis itu tampak agak terperanjat, tetapi sekalipun terlihat ragu-ragu, tampaknya ia pun mengenaliku.
“Ini Riki, tentu kamu kenal dia,” kata oomku.
Kami bersalaman.
“Wah, sudah gede sekali kamu Ayu.”
“Memangnya suruh kecil terus, memangnya kamu sendiri bagaimana?” katanya sambil tertawa.
Tertawanya dan lesung pipinya itu langsung mengingatkanku pada
tertawanya ketika ia kecil. Aku benar-benar terpesona melihat Ayu, aku
ingat Ayu kecil memang cantik, tetapi yang ini memang luar biasa. Apakah
karena dandanannya? Ah, tidak, sekalipun tidak berdandan aku pasti juga
terpesona. Gaun pestanya yang kuning itu memang tidak mewah, tetapi
serasi sekali dengan tubuhnya yang semampai. Bahunya terbuka, buah
dadanya yang putih menyembul sedikit di atas gaunnya itu membedakannya
dengan Ayu kecil yang pernah kukenal.
“Sudah sana ngobrol-ngobrol tentu banyak yang diceritain,” kata oomku seraya meninggalkan kami.
“Tuh ada kursi kosong di situ, yuk duduk di situ,” kataku.
Kamipun berjalan menuju ke kursi itu.
“Bagaimana Ayu, kamu sekarang di mana?”
“Aku sekarang tinggal di Semarang, kamu sendiri di mana?”
“Aku kuliah di Bandung, kamu bagaimana?”
Ia terdiam, menyendok ice creamnya lalu melumat dan menelannya,
perlahan ia berkata, “Aku tidak seberuntung kamu Rik, aku sudah bekerja.
Aku hanya sampai SMA. Yah keadaan memang mengharuskan aku begitu.”
“Bekerja juga baik Ayu, tiap orang kan punya jalan hidup sendiri- sendiri. Justru perjuangan hidup membuat orang lebih dewasa.”
Kira-kira satu jam kami saling menceritakan pengalaman kami. Waktu itu
umurku 22, dia juga (sejak kecil aku sudah tahu umurnya sama dengan
umurku). Perasaan yang pernah tumbuh di sanubariku semasa kecil
tampaknya mulai bersemi kembali. Rasanya tak bosan-bosan aku memandang
wajahnya yang ayu itu. Apakah cinta anak-anak itu mulai digantikan
dengan cinta dewasa? Aku tidak tahu. Aku juga tidak tahu apakah ia
merasakan hal yang sama. Yang pasti aku merasa simpati padanya. Malam
itu sebelum berpisah aku minta alamatnya dan kuberikan alamatku.
Sekembali ke Bandung kusurati dia, dan dia membalasnya. Tak pernah
terlambat dia membalas suratku. Hubungan kami makin akrab. Suatu ketika
ia menyuratiku akan berkunjung ke Bandung mengantar ibunya untuk suatu
urusan dagang. Memang setelah ayahnya pensiun, ibunya melakukan dagang
kecil-kecilan. Aku senang sekali atas kedatangan mereka. Kucarikan
sebuah hotel yang tak jauh dari rumah indekosku. Hotel itu sederhana
tetapi cukup bersih.
Pagi hari aku menjemput mereka di stasiun
kereta api dan mengantarnya ke hotel mereka. Sore hari, selesai kuliah,
aku ke hotelnya. Kami makan malam menikmati sate yang dijual di
pekarangan hotel. Pada malam hari kuajak Ayu berjalan-jalan menikmati
udara dingin kotaku. Entah bagaimana mulainya, tahu-tahu kami mulai
bergandengan tangan, bahkan kadang-kadang kulingkarkan tanganku di
bahunya yang tertutup oleh jaket. Kami berjalan menempuh jarak beberapa
kilometer, jarak yang dengan Vespaku saja tidak terbilang dekat. Tetapi
anehnya kami merasakan jarak itu dekat sekali. Sekembali di hotel kami
masih melanjutkan pecakapan di serambi hotel sampai lewat tengah malam,
sementara ibu Ayu sudah mengarungi alam mimpi. Besok sorenya aku ke
hotel untuk mengantarkan mereka ke stasiun untuk kembali ke kota mereka.
Ketika aku tiba di hotel, ibu Ayu sedang mandi, Ayu sedang mengemasi
barang-barang bawaannya. Aku duduk di kursi di kamar itu. Tiba-tiba
terbersit di pikiranku untuk memberikan selamat jalan yang sangat
pribadi bagi dia. Dengan berdebar aku bangkit dari tempat dudukku
berjalan dan berdiri di belakangnya, perlahan kupegang kedua bahunya
dari belakang, kubalikkan tubuhnya hingga menghadapku.
“Ayu, bolehkah ..?”
Ia tampak gugup, ia menghindar ketika wajahku mendekati wajahnya. Ia kembali membelakangiku.
“Sorry Ayu, bukan maksudku ..”
Ia diam saja, masih tampak kegugupannya, ia melanjutkan mengemasi
barang-barangnya. Terdengar bunyi pintu kamar mandi terbuka, ibu Ayu
keluar.
Di stasiun, sebelum masuk ke kereta kusalami ibunya. Ketika aku menyalami Ayu aku berbisik, “Ayu, sorry ya dengan yang tadi.”
Dia hanya tersenyum. Manis sekali senyumnya itu.
“Terimakasih Rik atas waktumu menemani kami.”
Hubungan surat-menyurat kami menjadi makin akrab hingga mencapai tahap
serius. Aku sering membuka suratku dengan “Ayuku tersayang”.
Kadang-kadang kukirimi dia humor atau kata-kata yang nakal. Dia juga
berani membalasnya dengan nakal. Pernah dia menulis begini, “Sekarang di
sini udaranya sangat panas Rik, sampai kalau tidur aku cuma pakai
celana saja. Tanaman-tanaman perlu disirami (aku juga).”
Membaca
surat itu aku tergetar. Kubayangkan ia dalam keadaan seperti yang
diceritakannya itu. Kukhayalkan aku berada di dekatnya dan melakukan
adegan-adegan romantis dengannya. Aku merasakan ada tetesan keluar dari
diriku akibat khayalan itu. Kuoleskan tetesan itu di kertas surat yang
kugunakan untuk membalas suratnya. (Barangkali ada aroma, atau entah apa
saja, yang membuat ia merasakan apa yang kurasakan waktu itu. Tetapi
aku tak pernah cerita pada dia tentang ini.)
Sampai tiba liburan
semester, aku mengunjungi dia. Aku tinggal di rumahnya selama empat
malam. Inilah pengalamanku selama empat malam itu.
Aku tiba pagi
hari. Setelah makan pagi, aku dan dia duduk-duduk di kamar makan. Aku
melihat Ayu mengenakan cincin imitasi dengan batu berwarna merah muda di
jari manisnya.
“Bagus cincinmu itu. Boleh kulihat?”
Kutarik
tangannya mendekat, tetapi aku segera lupa akan cincin itu. Ketika
lengannya kugenggam, serasa ada yang mengalir dari tangannya ke
tanganku. Jantungku berdebar. Tak kulepas genggamanku, kubawa telapak
tanganku ke telapak tangannya. Kumasukkan jari-jariku di sela
jari-jarinya. Jari-jarinya yang halus, putih dan lentik berada di antara
jari-jariku yang lebih besar dan gelap. Kugenggam dia, dia juga
menggenggam. Kuremas-remas jari- jari itu. Dia membiarkannya. Kami
berpandangan dengan penuh arti sebelum ia bangkit dengan tersipu-sipu,
“Aku bereskan meja dulu.”
Ia pun membereskan meja makan dan mencuci piring. Setelah itu ia
berkemas-kemas untuk pergi bekerja. Siang itu aku tidak kemana- nama,
aku beristirahat sambil membaca buku-buku novel yang kubawa.
Sore
harinya aku, Ayu dan adiknya menonton film di bioskop. Aku ingat ketika
nonton itu aku sempat remas-remasan tangan dengan dia. Setelah pulang
nonton kami duduk-duduk di ruang tamu. Saat itu sekitar pukul sembilan.
Kami hanya ngobrol-ngobrol biasa karena orang-orang di rumah itu masih
belum tidur. Ayu membuat secangkir kopi untukku. Sekitar pukul sepuluh
rumah mulai sepi, orang tua dan adik Ayu sudah masuk ke kamar tidur
masing-masing. Hanya tinggal aku dan Ayu di ruang tamu. Ia duduk di sofa
di sebelah kananku.
Dari obrolan biasa aku mulai berani.
Kulingkarkan tanganku dibahunya. Ayu diam saja dan menunduk. Dengan
tangan kiriku kutengadahkan wajahnya, kudekatkan kepalaku ke wajahnya,
kutarik dia. Berbeda dengan di hotel waktu itu, ia memejamkan matanya
membiarkan bibirku menyentuh bibirnya. Kukecup bibirnya. Cuma sebentar.
Hening, segala macam pikiran berkecamuk di kepalaku (kukira juga di
kepalanya). Aku merasa jantungku berdegup.
Pelan-pelan tangan
kananku kulepas dari bahunya, menyusup di antara lengan dan tubuhnya,
dan kutaruh jari-jariku di dadanya. Ia membiarkan dadanya kusentuh. Aku
melangkah lagi, jari-jariku kuusap-usapkan di situ. Ia membolehkan
bahkan menyandarkan badannya di dadaku. Aku mencium semerbak bau
rambutnya. Aku pun tidak ragu lagi, kuremas-remas payudaranya. Ia tetap
diam dan tampaknya ia menikmatinya.
Setelah beberapa saat ia
menggeser badannya sedikit lalu, seolah tak sengaja, ia menaruh
tangannya di pangkuanku, tepat di atas kancing celanaku. Aku tanggap
isyarat ini. Kubuka ruitsluiting celanaku, kutarik tangannya masuk ke
sela yang sudah terbuka itu. Ia menurut dan ia menyentuh penisku,
jari-jarinya yang tadi pasif sekarang mulai aktif. Walaupun masih
terhalang oleh celana dalam, ia mengusap-usap di situ. Aku melangkah
lebih jauh lagi, tanganku yang berada di dadanya sekarang memasuki
dasternya, menyusup di sela-sela BH- nya dan kuremas-remas payudaranya
langsung. Payudaranya memang tidak terlalu besar tetapi cukup kenyal
dalam remasanku. Dia tak mau kalah, tangannya menyusup masuk ke celana
dalamku dan langsung menyentuh penisku lalu mengenggamnya. Bergetar
hatiku, baru kali itu penisku disentuh seorang gadis, gairahku melonjak.
Dua kali ia menggerakkan genggamannya ke atas ke bawah dan aku tak
tahan .. menyemburlah cairanku membasahi jari-jarinya dan celana
dalamku. Aku mengeluh dan menyandarkan diriku ke sofa. Ia melepaskan
tangannya dari celanaku dan melihat tangannya yang basah.
“Kental ya Rik,” bisiknya.
“Ayu, terlalu cepat ya, ini pengalamanku pertama,” kataku kecewa.
“Aku tahu Rik,” ia memahami.
“Kamu ganti dulu, besok aku cuci yang itu,” lanjutnya.
Ia bangkit ke kamar mandi untuk mencuci tangannya. Aku masuk ke kamar
mengganti celana dalamku. Ketika keluar Ayu sudah berada kembali di
situ. Kami ngobrol-ngobrol sebentar lalu kami pergi tidur. Aku masuk ke
kamarku dan Ayu masuk ke dalam, ke kamarnya.
Malam kedua. Seperti
halnya malam pertama, setelah suasana sepi kami memulai dengan
berciuman. Kalau kemarin hanya kecup bibir sebentar, kali ini aku
mencoba lebih. Mula-mula kukecup bibir bawahnya, lalu bibir atasnya,
lalu lidahku masuk. Lidahku dan lidahnya bercanda. Aku mengecap rasa
manis dan segar di mulutnya, kurasa ia makan pastiles atau permen pedas
sebelumnya. Lalu kami main remas-remasan lagi. Kali itu dia tidak
memakai BH hingga lebih mudah bagiku meremas-remas payudaranya. Seperti
kemarin tangannya pun meraba-raba penisku. Aku sudah khawatir kalau aku
akan cepat keluar seperti kemarin, tetapi rupanya tidak. Aku juga ingin
melakukan seperti yang dia lakukan. Tanganku menuju ke bawah,
kusingkapkan dasternya, tetapi ketika tanganku menuju ke celananya ia
menepisnya. Rupanya ia belum mau sejauh itu. Malam itu kami cuma main
remas-remasan saja. Kuremas-remas payudaranya, dan dia membelai-belai
penisku sementara bibir kami berkecupan. Akhirnya aku tak tahan juga
hingga cairanku menyemprot keluar membasahi tangannya, sama seperti
kemarin. Tetapi aku lebih senang karena kami bisa bermain-main lebih
lama. Aku merasa ada kemajuan, aku lebih percaya diri.
Malam ketiga.
Seperti malam-malam sebelumnya, kami mulai dengan saling berciuman di
sofa. Ketika baru mulai babak remas-remasan aku ingat bahwa aku membawa
sebuah buku seksologi. Kuambil buku itu dan kutunjukkan pada Ayu. Kubuka
pada halaman yang ada gambar alat genital pria. Kujelaskan padanya cara
bekerjanya alat itu. Dia mendengarkannya dengan perhatian. Seolah guru
biologi aku menunjukkan contohnya, kubuka ruitsluiting celanaku.
Kuturunkan celana dalamku hingga penisku menyembul keluar dan
kupertontonkan pada Ayu. penisku memang beda dengan yang di gambar,
kalau yang di gambar itu lunglai, penisku berdiri tegak. Ayu
memperhatikan penisku itu.
“Itu lubangnya ada dua ya?” tanyanya, “Satu untuk kencing, satu lagi untuk ngeluarin?”
“Ah, engga. Cuma ada satu,” kataku sambil tertawa.
Kubuka lubang kecil itu agak lebar untuk menunjukkan bahwa lubangnya
memang cuma satu. Ujung itu merah mengkilat basah oleh cairan bening.
Kubawa telunjuknya mengusapnya dan ia membiarkan jarinya basah. Kemudian
jari-jari lentik itu menyusuri urat-urat di situ dari atas ke bawah.
“Rupanya jelek, tapi kok bisa bikin enak ya,” katanya sambil tertawa.
“Eh, tahunya kalau enak. Memang sudah pernah mencoba?” sahutku.
“Katanya sih,” sahutnya sambil tertawa.
Jemarinya pun memain-mainkan penisku.
“Kalau ini isinya apa?” Candanya sambil memain-mainkan kantung bolaku.
“Biji salak kali,” jawabku sambil tertawa. Ia juga tertawa.
Lalu tangannya menggenggam penisku dan menggosok-gosoknya.
“Jangan keras-keras Ayu. Nanti keluar,” bisikku. Diapun menurut, dia
masih menggenggam tetapi tidak menggosok hanya mengusap-usap perlahan.
“Boleh aku lihat punyamu?” tanyaku.
“Jangan ah,” jawabnya.
“Sebentar saja,” kataku.
Ia pun menurut. Ia membiarkan tanganku menyingkap dasternya dan
menurunkan celana dalamnya hingga ke lutut. Aku menelan ludah, baru kali
itu aku melihat alat kelamin wanita, sebelumnya aku melihatnya cuma di
gambar-gambar. Tanganku pun menuju ke situ. Kuusap-usap rambutnya lalu
jariku membuka celah di situ dan kulihat basah di dalamnya.
“Kok basah kuyup begini.”
“Tadi kamu juga.”
Kutengok penisku, sudah kering memang, karena diusap oleh Ayu, tetapi
aku melihat di ujungnya mulai membasah lagi. Aku ingat ketika membaca
buku seksologiku ada bagian yang namanya “labia majora”, ada “labia
minora”, ada “clitoris.” Aku mencoba mencari tahu yang mana itu. Aku
mencoba membuka celahnya lebih lebar tetapi ia menepis tanganku.
“Sudah ah, malu,” katanya.
Ia kembali menaikkan celana dalamnya.
“Kamu curang Ayu. penisku sudah kamu lihat dari tadi,” kataku bercanda.
“Kan katamu cuma lihat sebentar.”
Susasana hening. Kupeluk dia. Kembali kami berciuman. Tangannya kembali
mengusap-usap penisku. Tanganku juga menyusup ke celana dalamnya
(dasternya masih menyingkap). Dia tidak menolak. Kuusap-usap rambut di
balik celana dalam itu dan jari-jariku pun menggelitik di situ. Aku
merasakan basahnya. Kurebahkan dia di sofa, kutarik celana dalamnya.
Tapi Ayu menolak tanganku dan berbisik,
“Di kamar saja Rik.”
Aku sadar, di situ bukan tempat yang tepat.
“Kamu masuk duluan,” katanya.
Akupun masuk ke kamarku melepaskan seluruh pakaianku lalu aku
merebahkan diri menunggu Ayu. Setelah beberapa menit Ayu masuk membawa
handuk kecil lalu mengunci pintu. Ia menghempaskan diri di sisiku. Aku
segera tahu bahwa dia tidak mengenakan celana dalam lagi. Segera kulepas
dasternya. Tak ada apa-apa lagi yang menutupi kami. Tanpa basa-basi
lagi kami segera berpelukan dan berkecupan dengan ganas. Tangan-tangan
kami saling meraih, menyentuh, meremas apa saja untuk bisa saling
menggairahkan. Kugigit putingnya. Ia menggelinjang. Ia bangkit dan
membalas dengan mengulum penisku. Ganti aku yang menggelinjang. Kami
melakukan itu mungkin sepuluh menit. Gairah tak tertahankan lagi.
“Rik, masukkan saja..,” bisiknya memohon.
Ayu merebahkan dirinya telentang. Aku mengambil posisi di atasnya.
Kedua pahanya membuka lebar menampung tubuhku, lalu kedua kakinya,
seperti juga kedua tangannya, melingkari tubuhku. Ujung penisku
mencari-cari lubang punyanya. Setelah ketemu aku dorong sedikit. Ia agak
mengerang.
“Pelan-pelan Rik,” bisiknya.
Kudorong penisku
pelan-pelan, sekali, dua kali, dan akhirnya tembus. Ia menggelinjang dan
mengeluh. Kami berdua merasa di awang- awang. Rasanya bumi ini hanya
milik kami berdua. Kami berdua menggerak-gerakkan tubuh kami mencari
sentuhan-sentuhan yang paling peka.
Kenikmatan makin meninggi, setelah beberapa saat gerakan tubuhnya makin kencang lalu ia memelukku erat-erat seraya merintih,
“Rik, Rik,..” Aku juga tak tahan dan segera menyusulnya,
“Ayu..” Dia memelukku erat, bibir kami berkecupan ketika benihku
menyemprot di dalamnya. Cairanku menyatu dengan cairannya. Selama
beberapa menit kami masih dalam posisi itu.
“Rik, aku cuma ingin sama kamu, engga ada yang lain lagi,” katanya.
“Begitu juga aku Ayu, aku sayang kamu,” kataku sambil membelai pipinya. Lalu kukecup bibirnya, mesra dengan segenap perasaanku.
Sekitar setengah jam kami masih berpelukan terbuai oleh pengalaman
barusan. Lalu kami bangkit. Aku lap penisku dengan handuk kecil, dan ia
pun mengelap vaginanya, aku lihat ada darah di handuk itu. Lalu kami
rebah berhadapan dan kami berpelukan lagi dan tak pakai apa-apa. Kami
pun tertidur.
Menjelang pagi kurasakan Ayu bangun. Ia akan mengenakan dasternya.
“Aku harus kembali ke kamarku Rik, sudah pagi.”
Tetapi aku menarik tangannya hingga ia kembali rebah di sisiku.
“Masih setengah tiga Ayu, di sini dulu.”
Penisku pun kembali tegang dan keras. Ayu melihatnya.
“Rupanya si kecilmu sudah siap lagi Rik,” candanya.
Ia pun bangkit lalu tubuhnya menindih tubuhku yang rebah telentang. Ia
mengecupi leherku kiri dan kanan bertubi-tubi. Akhirnya bibir itu mampir
di bibirku. Lidahku dan lidahnya berbelitan, sebentar dalam mulutku,
sebentar dalam mulutnya. Lalu ia mengangkat tubuhnya sedikit,
mengarahkan lubangnya ke ujung penisku lalu ia mendorongkan tubuhnya ke
belakang hingga penisku masuk ke dalamnya sepenuhnya. Ia duduk di
perutku. Tanganku meremas- remas payudaranya dan ia menggoyang-goyangkan
tubuhnya di atasku. Mula-mula gerakannya tak terlalu cepat tetapi
semakin lama ritme gerakannya makin meninggi lalu ia rebah dalam
pelukanku, aku mendengar desahnya penuh kenikmatan. Namun aku masih
tegar. Ganti ia yang kutelentangkan, aku berada di atasnya, kugerakkan
tubuhku. Beberapa saat kemudian kenikmatanpun menjalar di seluruh
tubuhku. Malam itu tak banyak kata-kata yang kami ucapkan, tetapi
tubuh-tubuh kami telah saling bicara mencurahkan seluruh perasaan kami
yang terpendam selama berbulan-bulan. Jam setengah empat sudah, ia
mengenakan dasternya mengecup pipiku dan kembali ke kamarnya. Aku pun
tertidur dengan rasa bahagia.
Malam keempat. Kami mulai dengan
bercium-ciuman sebentar di sofa. Kami tak mau berlama-lama di situ, kami
pun masuk kamar. Setelah mengunci pintu ia melepaskan dasternya. Aku
juga melepaskan pakaianku. Ternyata di balik daster itu ia mengenakan
blouse dan celana mini tipis yang tak terlampau ketat berwarna biru
muda. payudaranya tidak terlalu besar tetapi cukup menonjol di balik
blousenya itu, putingnya tampak jelas di balik blousenya yang transparan
itu dan di celananya aku juga bisa melihat rambutnya menerawang. Aku
terpesona melihat Ayu berdiri di depanku dengan pakaian begitu seksi.
Rambutnya yang bergerai panjang, tubuhya yang semampai sangat serasi
dengan yang dipakainya. Aku duduk terpana di tempat tidur memandangnya.
Kalau saja aku bisa memotretnya pasti tiap malam kupandangi foto itu
dengan penuh pesona.
“Luar biasa Ayu, cantik sekali kamu. Di mana kamu beli bajumu itu?”
Dia tidak menjawab, hanya tersenyum. Ia menuju tempat tidur dan
merebahkan diri. Aku pun rebah di sisinya. Kubelai putingnya di balik
blousenya itu. Lalu kuusap celananya dan jari-jariku merasakan kemresak
rambut-rambut di baliknya. Lalu kami rebah berhadapan. Kusisipkan
penisku melalui sela celana mininya menyentuh vaginanya lalu kudekap dan
kucium dia. Beberapa menit kami berciuman. Lalu ia bangkit mengecup
dadaku di berbagai tempat.
Kulepas celana mini dan blousenya.
Sekarang tak ada apa-apa lagi yang melekat di tubuh kami. Aku duduk dan
ia duduk di pangkuanku berhadapan dengan aku. Punya kami saling
menempel. penisku berdiri tegak dikelilingi oleh rambut-rambutnya dan
rambut-rambutku, hingga penisku tampak seolah-olah punyanya juga. Segera
kamipun berdekapan erat, beciuman sambil duduk. Cukup lama kami
bercumbu rayu dengan berbagai cara. Seperti malam sebelumnya, malam itu
kami melakukan lagi dua kali.
Esoknya aku harus kembali ke kotaku.
Hari itu Ayu mengambil cuti seharian ia menemaniku. Sore hari Ayu
mengantarku ke stasiun kereta api. Kulihat matanya berkaca-kaca ketika
aku menyalami dia.
“Datang lagi ya Rik, malam ini aku akan memimpikanmu,” katanya ketika aku akan menaiki kereta.
Ketika kereta bergerak meninggalkan stasiun aku masih melihat dia melambaikan tangannya sampai ia hilang dari pandanganku.
“Aku pasti datang lagi Ayu,” tanpa sadar kuucapkan kata-kata itu.
buku cerita dewasa
Selasa, 24 April 2012
teman tapi mesum
Saat kuliah aku punya sahabat karib bernama Yenny. Walaupun belum tentu sekali setahun berjumpa tetapi semenjak sama-sama kami berkeluarga hingga anak-anak tumbuh dewasa, jalinan persahabatan kami tetap berlanjut. Setidaknya setiap bulan kami saling bertelpon. Ada saja masalah untuk diomongkan. Suatu pagi Yenny telepon bahwa dia baru pulang dari Magelang, kota kelahirannya. Dia bilang ada oleh-oleh kecil untuk aku.
Kalau aku tidak keluar rumah, Idang anaknya, akan mengantarkannya kerumahku. Ah, repotnya sahabatku, demikian pikirku. Aku sambut gembira atas kebaikan hatinya, aku memang jarang keluar rumah dan aku menjawab terima kasih untuk oleh-olehnya. Ah, rejeki ada saja, Yenny pasti membawakan getuk, makanan tradisional dari Magelang kesukaanku. Aku tidak akan keluar rumah untuk menunggu si Idang, yang seingatku sudah lebih dari 10 tahun aku tidak berjumpa dengannya.
Menjelang tengah hari sebuah jeep Cherokee masuk ke halaman rumahku. Kuintip dari jendela. Dua orang anak tanggung turun dari jeep itu. Mungkin si Idang datang bersama temannya. Ah, jangkung bener anak Yenny. Aku buka pintu. Dengan sebuah bingkisan si Idang naik ke teras rumah,
"Selamat siang, Tante. Ini titipan mama untuk Tante Erna. Kenalin ini Bonny teman saya, Tante".
Idang menyerahkan kiriman dari mamanya dan mengenalkan temannya padaku. Aku sambut gembira mereka. Oleh-oleh Yenny dan langsung aku simpan di lemari es-ku biar nggak basi. Aku terpesona saat melihat anak Yenny yang sudah demikian gede dan jangkung itu. Dengan gaya pakaian dan rambutnya yang trendy sungguh keren anak sahabatku ini. Demikian pula si Donny temannya, mereka berdua adalah pemuda-pemuda masa kini yang sangat tampan dan simpatik. Ah, anak jaman sekarang, mungkin karena pola makannya sudah maju pertumbuhan mereka jadi subur. Mereka aku ajak masuk ke rumah. Kubuatkan minuman untuk mereka.
Kuperhatikan mata si Donny agak nakal, dia pelototi bahuku, buah dadaku, leherku. Matanya mengikuti apapun yang sedang aku lakukan, saat aku jalan, saat aku ngomong, saat aku mengambil sesuatu. Ah, maklum anak laki-laki, kalau lihat perempuan yang agak melek, biar sudah tuaan macam aku ini, tetap saja matanya melotot. Dia juga pinter ngomong lucu dan banyak nyerempet-nyerempet ke masalah seksual. Dan si Idang sendiri senang dengan omongan dan kelakar temannya. Dia juga suka nimbrung, nambahin lucu sambil melempar senyuman manisnya. Kami jadi banyak tertawa dan cepat saling akrab. Terus terang aku senang dengan mereka berdua. Dan tiba-tiba aku merasa berlaku aneh, apakah ini karena naluri perempuanku atau dasar genitku yang nggak pernah hilang sejak masih gadis dulu, hingga teman-temanku sering menyebutku sebagai perempuan gatal. Dan kini naluri genit macam itu tiba-tiba kembali hadir. Mungkin hal ini disebabkan oleh tingkah si Donny yang seakan-akan memberikan celah padaku untuk mengulangi peristiwa-peristiwa masa muda. Peristiwa-peristiwa penuh birahi yang selalu mendebarkan jantung dan hatiku. Ah, dasar perempuan tua yang nggak tahu diri, makian dari hatiku untukku sendiri. Tetapi gebu libidoku ini demikian cepat menyeruak ke darahku dan lebih cepat lagi ke wajahku yang langsung terasa bengap kemerahan menahan gejolak birahi mengingat masa laluku itu.
"Tante, jangan ngelamun. Cicak jatuh karena ngelamun, lho".
Kami kembali terbahak mendengar kelakar Idang. Dan kulihat mata Donny terus menunjukkan minatnya pada bagian-bagian tubuhku yang masih mulus ini. Dan aku tidak heran kalau anak-anak muda macam Donny dan Idang ini demen menikmati penampilanku. Walaupun usiaku yang memasuki tahun ke 42 aku tetap "fresh" dan "good looking". Aku memang suka merawat tubuhku sejak muda. Boleh dibilang tak ada kerutan tanda ketuaan pada bagian-bagian tubuhku. Kalau aku jalan sama Oke, suamiku, banyak yang mengira aku anaknya atau bahkan "piaraan"nya. Kurang asem, tuh orang. Dan suamiku sendiri sangat membanggakan kecantikkanku. Kalau dia berkesempatan untuk membicarakan istrinya, seakan-akan memberi iming-iming pada para pendengarnya hingga aku tersipu walaupun dipenuhi rasa bangga dalam hatiku. Beberapa teman suamiku nampak sering tergoda untuk mencuri pandang padaku. Tiba-tiba aku ada ide untuk menahan kedua anak ini.
"Hai, bagaimana kalau kalian makan siang di sini. Aku punya resep masakan yang gampang, cepat dan sedap. Sementara aku masak kamu bisa ngobrol, baca tuh majalah atau pakai tuh, komputer si oom. Kamu bisa main game, internet atau apa lainnya. Tapi jangan cari yang 'enggak-enggak', ya..", aku tawarkan makan siang pada mereka.
Tanpa konsultasi dengan temannya si Donny langsung iya saja. Aku tahu mata Donny ingin menikmati sensual tubuhku lebih lama lagi. Si Idang ngikut saja apa kata Donny. Sementara mereka buka komputer aku ke dapur mempersiapkan masakanku. Aku sedang mengiris sayuran ketika tahu-tahu Donny sudah berada di belakangku.
Dia menanyaiku, "Tante dulu teman kuliah mamanya Idang, ya. Kok kayanya jauh banget, sih?".
"Apanya yang jauh?, aku tahu maksud pertanyaan Donny.
"Iya, Tante pantesnya se-umur dengan teman-temanku".
"Gombal, ah. Kamu kok pinter nge-gombal, sih, Don".
"Bener. Kalau nggak percaya tanya, deh, sama Idang", lanjutnya sambil melototi pahaku.
"Tante hobbynya apa?".
"Berenang di laut, skin dan scuba diving, makan sea food, makan sayuran, nonton Discovery di TV".
"Ooo, pantesan".
"Apa yang pantesan?", sergapku.
"Pantesan body Tante masih mulus banget".
Kurang asem Donny ini, tanpa kusadari dia menggiring aku untuk mendapatkan peluang melontarkan kata-kata "body Tante masih mulus banget" pada tubuhku. Tetapi aku tak akan pernah menyesal akan giringan Donny ini. Dan reaksi naluriku langsung membuat darahku terasa serr.., libidoku muncul terdongkrak. Setapak demi setapak aku merasa ada yang bergerak maju. Donny sudah menunjukkan keberaniannya untuk mendekat ke aku dan punya jalan untuk mengungkapkan kenakalan ke-lelakian-nya.
"Ah, mata kamu saja yang keranjang", jawabku yang langsung membuatnya tergelak-gelak.
"Papa kamu, ya, yang ngajarin?, lanjutku.
"Ah, Tante, masak kaya gitu aja mesti diajarin".
Ah, cerdasnya anak ini, kembali aku merasa tergiring dan akhirnya terjebak oleh pertanyaanku sendiri.
"Memangnya pinter dengan sendirinya?", lanjutku yang kepingin terjebak lagi.
"Iya, dong, Tante. Aku belum pernah dengar ada orang yang ngajari gitu-gitu-an".
Ah, kata-kata giringannya muncul lagi, dan dengan senang hati kugiringkan diriku.
"Gitu-gituan gimana, sih, Don sayang?", jawabku lebih progresif.
"Hoo, bener sayang, nih?", sigap Donny.
"Habis kamu bawel, sih", sergahku.
"Sudah sana, temenin si Idang tuh, n'tar dia kesepian", lanjutku.
"Si Idang, mah, senengnya cuma nonton", jawabnya.
"Kalau kamu?", sergahku kembali.
"Kalau saya, action, Tante sayang", balas sayangnya.
"Ya, sudah, kalau mau action, tuh ulek bumbu tumis di cobek, biar masakannya cepet mateng", ujarku sambil memukulnya dengan manis.
"Oo, beres, Tante sayang", dia tak pernah mengendorkan serangannya padaku.
Kemudian dia menghampiri cobekku yang sudah penuh dengan bumbu yang siap di-ulek. Beberapa saat kemudian aku mendekat ke dia untuk melihat hasil ulekannya.
"Uh, baunya sedap banget, nih, Tante. Ini bau bumbu yang mirip Tante atau bau Tante yang mirip bumbu?".
Kurang asem, kreatif banget nih anak, sambil ketawa ngakak kucubit pinggangnya keras-keras hingga dia aduh-aduhan. Seketika tangannya melepas pengulekan dan menarik tanganku dari cubitan di pinggangnya itu. Saat terlepas tangannya masih tetap menggenggam tanganku, dia melihat ke mataku. Ah, pandangannya itu membuat aku gemetar. Akankah dia berani berbuat lebih jauh? Akankah dia yakin bahwa aku juga merindukan kesempatan macam ini? Akankah dia akan mengisi gejolak hausku? Petualanganku? Nafsu birahiku?
Aku tidak memerlukan jawaban terlampau lama. Bibir Donny sudah mendarat di bibirku. Kini kami sudah berpagutan dan kemudian saling melumat. Dan tangan-tangan kami saling berpeluk. Dan tanganku meraih kepalanya serta mengelusi rambutnya. Dan tangan Donny mulai bergeser menerobos masuk ke blusku. Dan tangan-tangan itu juga menerobosi BH-ku untuk kemudian meremasi payudaraku. Dan aku mengeluarkan desahan nikmat yang tak terhingga. Nikmat kerinduan birahi menggauli anak muda yang seusia anakku, 22 tahun di bawah usiaku.
"Tante, aku nafsu banget lihat body Tante. Aku pengin menciumi body Tante. Aku pengin menjilati body Tante. Aku ingin menjilati nonok Tante. Aku ingin ngentot Tante".
Ah, seronoknya mulutnya. Kata-kata seronok Donny melahirkan sebuah sensasi erotik yang membuat aku menggelinjang hebat. Kutekankan selangkanganku mepet ke selangkangnnya hingga kurasakan ada jendolan panas yang mengganjal. Pasti kontol Donny sudah ngaceng banget. Kuputar-putar pinggulku untuk merasakan tonjolannya lebih dalam lagi. Donny mengerang.Dengan tidak sabaran dia angkat dan lepaskan blusku. Sementara blus masih menutupi kepalaku bibirnya sudah mendarat ke ketiakku. Dia lumati habis-habisan ketiak kiri kemudian kanannya. Aku merasakan nikmat di sekujur urat-uratku. Donny menjadi sangat liar, maklum anak muda, dia melepaskan gigitan dan kecupannya dari ketiak ke dadaku. Dia kuak BH-ku dan keluarkan buah dadaku yang masih nampak ranum. Dia isep-isep bukit dan pentilnya dengan penuh nafsu. Suara-suara erangannya terus mengiringi setiap sedotan, jilatan dan gigitannya. Sementara itu tangannya mulai merambah ke pahaku, ke selangkanganku. Dia lepaskan kancing-kancing kemudian dia perosotkan hotpants-ku. Aku tak mampu mengelak dan aku memang tak akan mengelak. Birahiku sendiri sekarang sudah terbakar hebat. Gelombang dahsyat nafsuku telah melanda dan menghanyutkan aku. Yang bisa kulakukan hanyalah mendesah dan merintih menanggung derita dan siksa nikmat birahiku.
Begitu hotpants-ku merosot ke kaki, Donny langsung setengah jongkok menciumi celana dalamku. Dia kenyoti hingga basah kuyup oleh ludahnya. Dengan nafsu besarnya yang kurang sabaran tangannya memerosotkan celana dalamku. Kini bibir dan lidahnya menyergap vagina, bibir dan kelentitku. Aku jadi ikutan tidak sabar.
"Donny, Tante udah gatal banget, nih".
"Copot dong celanamu, aku pengin menciumi kamu punya, kan".
Dan tanpa protes dia langsung berdiri melepaskan celana panjang berikut celana dalamnya. Kontolnya yang ngaceng berat langsung mengayun kaku seakan mau nonjok aku. Kini aku ganti yang setengah jongkok, kukulum kontolnya. Dengan sepenuh nafsuku aku jilati ujungnya yang sobek merekah menampilkan lubang kencingnya. Aku merasakan precum asinnya saat Donny menggerakkan pantatnya ngentot mulutku. Aku raih pahanya biar arah kontolnya tepat ke lubang mulutku.
"Tante, aku pengin ngentot memek Tante sekarang".
Aku tidak tahu maunya, belum juga aku puas mengulum kontolnya dia angkat tubuhku. Dia angkat satu kakiku ke meja dapur hingga nonokku terbuka. Kemudian dia tusukkannya kontolnya yang lumayan gede itu ke memekku. Aku menjerit tertahan, sudah lebih dari 3 bulan Oke, suamiku nggak nyenggol-nyenggol aku. Yang sibuklah, yang rapatlah, yang golflah. Terlampau banyak alasan untuk memberikan waktunya padaku. Kini kegatalan kemaluanku terobati, Kocokkan kontol Donny tanpa kenal henti dan semakin cepat. Anak muda ini maunya serba cepat. Aku rasa sebentar lagi spermanya pasti muncrat, sementara aku masih belum sepenuhnya puas dengan entotannya. Aku harus menunda agar nafsu Donny lebih terarah. Aku cepat tarik kemaluanku dari tusukkannya, aku berbalik sedikit nungging dengan tanganku bertumpu pada tepian meja. Aku pengin dan mau Donny nembak nonokku dari arah belakang. Ini adalah gaya favoritku. Biasanya aku akan cepat orgasme saat dientot suamiku dengan cara ini. Donny tidak perlu menunggu permintaanku yang kedua. Kontolnya langsung di desakkan ke memekku yang telah siap untuk melahap kontolnya itu.
Nah, aku merasakan enaknya kontol Donny sekarang. Pompaannya juga lebih mantab dengan pantatku yang terus mengimbangi dan menjemput setiap tusukan kontolnya. Ruang dapur jadi riuh rendah.
Selintas terpikir olehku, di mana si Idang. Apakah dia masih berkutat dengan komputernya? Atau dia sedang mengintip kami barangkali? Tiba-tiba dalam ayunan kontolnya yang sudah demikian keras dan berirama Donny berteriak.
"Dang, Idang, ayoo, bantuin aku .., Dang..".
Ah, kurang asem anak-anak ini. Jangan-jangan mereka memang melakukan konspirasi untuk mengentotku saat ada kesempatan disuruh mamanya untuk mengirimkan oleh-oleh itu. Kemudian kulihat Idang dengan tenangnya muncul menuju ke dapur dan berkata ke Donny
"Gue kebagian apanya Don?'
"Tuh, lu bisa ngentot mulutnya. Dia mau kok".
Duh, kata-kata seronok yang mereka ucapkan dengan kesan seolah-olah aku ini hanya obyek mereka. Dan anehnya ucapan-ucapan yang sangat tidak santun itu demikian merangsang nafsu birahiku, sangat eksotik dalam khayalku. Aku langsung membayangkan seolah-olah aku ini anjing mereka yang siap melayani apapun kehendak pemiliknya.
Aku melenguh keras-keras untuk merespon gaya mereka itu. Kulihat dengan tenangnya Idang mencopoti celananya sendiri dan lantas meraih kepalaku dengan tangan kirinya, dijambaknya rambutku tanpa menunjukkan rasa hormat padaku yang adalah teman mamanya itu, untuk kemudian ditariknya mendekat ke kontolnya yang telah siap dalam genggaman tangan kanannya. Kontol Idang nampak kemerahan mengkilat. Kepalanya menjamur besar diujung batangnya. Saat bibirku disentuhkannya aroma kontolnya menyergap hidungku yang langsung membuat aku kelimpungan untuk selekasnya mencaplok kontol itu. Dengan penuh kegilaan aku lumati, jilati kulum, gigiti kepalanya, batangnya, pangkalnya, biji pelernya. Tangan Idang terus mengendalikan kepalaku mengikuti keinginannya. Terkadang dia buat maju mundur agar mulutku memompa, terkadang dia tarik keluar kontolnya menekankan batangnya atau pelirnya agar aku menjilatinya.
Duh, aku mendapatkan sensasi kenikmatan seksualku yang sungguh luar biasa. Sementara di belakang sana si Donny terus menggenjotkan kontolnya keluar masuk menembusi nonoknya sambil jari-jarinya mengutik-utik dan disogok-sogokkannya ke lubang pantatku yang belum pernah aku mengalami cara macam itu. Oke, suamiku adalah lelaki konvensional. Saat dia menggauliku dia lakukan secara konvensional saja. Sehingga saat aku merasakan bagaimana perbuatan teman dan anak sahabatku ini aku merasakan adanya sensasi baru yang benar-benar hebat melanda aku. Kini 3 lubang erotis yang ada padaku semua dijejali oleh nafsu birahi mereka. Aku benar-benar jadi lupa segala-galanya. Aku mengenjot-enjot pantatku untuk menjemputi kontol dan jari-jari tangan Donny dan mengangguk-anggukkan kepalaku untuk memompa kontol Idang.
"Ah, Tante, mulut Tante sedap banget, sih. Enak kan, kontolku. Enak, kan? Sama kontol Oom enak mana? N'tar Tante pasti minta lagi, nih".
Dia percepat kendali tangannya pada kepalaku. Ludahku sudah membusa keluar dai mulutku. Kontol Idang sudah sangat kuyup. Sesekali aku berhenti sessat untuk menelan ludahku.
Tiba-tiba Donny berteriak dari belakang, "Aku mau keluar nih, Tante. Keluarin di memek atau mau diisep, nih?".
Ah, betapa nikmatnya bisa meminum air mani anak-anak ini. Mendengar teriakan Donny yang nampak sudah kebelet mau muncratkan spermanya, aku buru-buru lepaskan kontol Idang dari mulutku. Aku bergerak dengan cepat jongkok sambil mengangakan mulutku tepat di ujung kontol Donny yang kini penuh giat tangannya mengocok-ocok kontolnya untuk mendorong agar air maninya cepat keluar.
Kudengar mulutnya terus meracau, "Minum air maniku, ya, Tante, minum ya, minum, nih, Tante, minum ya, makan spermaku ya, Tante, makan ya, enak nih, Tante, enak nih air maniku, Tante, makan ya..".
Air mani Donny muncrat-muncrat ke wajahku, ke mulutku, ke rambutku. Sebagian lain nampak mengalir di batang dan tangannya. Yang masuk mulutku langsung aku kenyam-kenyam dan kutelan. Yang meleleh di batang dan tanganannya kujilati kemudian kuminum pula. Kemudian dengan jari-jarinya Donny mengorek yang muncrat ke wajahku kemudian disodorkannya ke mulutku yang langsung kulumati jari-jarinya itu. Ternyata saat Idang menyaksikan apa yang dikerjakan Donny dia nggak mampu menahan diri untuk mengocok-ocok juga kontolnya. Dan beberapa saat sesudah kontol Donny menyemprotkan air maninya, menyusul kontol Idang memuntahkan banyak spermanya ke mulutku. Aku menerima semuanya seolah-olah ini hari pesta ulang tahunku. Aku merasakan rasa yang berbeda, sperma Donny serasa madu manisnya, sementara sperma Idang sangat gurih seperti air kelapa muda.
Dasar anak muda, nafsu mereka tak pernah bisa dipuaskan. Belum sempat aku istirahat mereka mengajak aku ke ranjang pengantinku. Mereka nggak mau tahu kalau aku masih mengagungkan ranjang pengantinku yang hanya Oke saja yang boleh ngentot aku di atasnya. Setengahnya mereka menggelandang aku memaksa menuju kamarku. Aku ditelentangkannya ke kasur dengan pantatku berada di pinggiran ranjang. Idang menjemput satu tungkai kakiku yang dia angkatnya hingga nempel ke bahunya. Dia tusukan kontolnya yang tidak surut ngacengnya sesudah sedemikian banyak menyemprotkan sperma untuk menyesaki memekku, kemudian dia pompa kemaluanku dengan cepat kesamping kanan, kiri, ke atas, ke bawah dengan penuh irama. Aku merasakan ujungnya menyentuh dinding rahimku dan aku langsung menggelinjang dahsyat. Pantatku naik turun menjemput tusukan-tusukan kontol legit si Idang. Sementara itu Donny menarik tubuhku agar kepalaku bisa menciumi dan mengisap kontolnya. Kami bertiga kembali mengarungi samudra nikmatnya birahi yang nikmatnya tak terperi.
Hidungku menikmati banget aroma yang menyebar dari selangkangan Donny. Jilatan lidah dan kuluman bibirku liar melata ke seluruh kemaluan Donny. Kemudian untuk memenuhi kehausanku yang amat sangat, paha Donny kuraih ke atas ranjang sehingga satu kakinya menginjak ke kasur dan membuat posisi pantatnya menduduki wajahku. Dengan mudah tangan Donny meraih dan meremasi susu-susu dan pentilku. Sementara hidungku setengah terbenam ke celah pantatnya dan bibirku tepat di bawah akar pangkal kontolnya yang keras menggembung. Aku menggosok-gosokkan keseluruhan wajahku ke celah bokongnya itu sambil tangan kananku ke atas untuk ngocok kontol Donny. Duh, aku kini tenggelam dalam aroma nikmat yang tak terhingga. Aku menjadi kesetanan menjilati celah pantat Donny. Aroma yang menusuk dari pantatnya semakin membuat aku liar tak terkendali. Sementara di bawah sana Idang yang rupanya melihat bagaimana aku begitu liar menjilati pantat Donny langsung dengan buasnya menggenjot nonokku. Dia memperdengarkan racauan nikmatnya,
"Tante, nonokmu enak, Tante, nonokmu aku entot, Tante, nonokmu aku entot, ya, enak, nggak, heh?, Enak ya, kontolku, enak Tante, kontolku?".
Aku juga membalas erangan, desahan dan rintihan nikmat yang sangat dahsyat. Dan ada yang rasa yang demikian exciting merambat dari dalam kemaluanku. Aku tahu orgasmeku sedang menuju ke ambang puncak kepuasanku. Gerakkanku semakin menggila, semakin cepat dan keluar dari keteraturan. Kocokkan tanganku pada kontol Donny semakin kencang. Naik-naik pantatku menjemputi kontol Idang semakin cepat, semakin cepat, cepat, cepat, cepat.
Dan teriakanku yang rasanya membahana dalam kamar pengantinku tak mampu kutahan, meledak menyertai bobolnya pertahanan kemaluanku. Cairan birahiku tumpah ruah membasah dab membusa mengikuti batang kontol yang masih semakin kencang menusukki nonokku. Dan aku memang tahu bahwa Idang juga hendak melepas spermanya yang kemudian dengan rintihan nikmatnya akhirnya menyusul sedetik sesudah cairan birahiku tertumpah. Kakiku yang sejak tadi telah berada dalam pelukannya disedoti dan gigitinya hingga meninggalkan cupang-cupang kemerahan.
Sementara Donny yang sedang menggapai menuju puncak pula, meracau agar aku mempercepat kocokkan kontolnya sambil tangannya keras-keras meremasi buah dadaku hingga aku merasakan pedihnya. Dan saat puncaknya itu akhirnya datang, dia lepaskan genggaman tanganku untuk dia kocok sendiri kontolnya dengan kecepatan tinggi hingga spermanya muncrat semburat tumpah ke tubuhku. Aku yang tetap penasaran, meraih batang yang berkedut-kedut itu untuk kukenyoti, mulutku mengisap-isap cairan maninya hingga akhirnya segalanya reda. Jari-jari tanganku mencoleki sperma yang tercecer di tubuhku untuk aku jilat dan isap guna mengurangi dahaga birahiku.
Sore harinya, walaupun aku belum sempat merasakan getuk kirimannya yang kini berada dalam lemari esku dengan penuh semangat dan terima kasih aku menelepon Yenny.
"Wah, terima kasih banget atas kirimannya, ya Yen. Karena sudah lama aku tidak merasakannya, huh, nikmat banget rasanya. Ada gurihnya, ada manisnya, ada legitnya", kataku sambil selintas mengingat kenikmatan yang aku raih dari Idanganaknya dan Donny temannya.
Yenny tertawa senang sambil menjawab, "Nyindir, ya. Memangnya kerajinan tanduk dari Pucang (sebuah desa di utara Magelang yang menjadi pusat kerajinan dari tanduk kerbau) itu serasa getuk kesukaanmu itu. N'tar deh kalau aku pulang lagi, kubawakan sekeranjang getukmu".
Aku tersedak dan terbatuk-batuk. Mati aku, demikian pikirku. Ternyata bingkisan dalam kulkas itu bukan getuk kesukaanku.
Kalau aku tidak keluar rumah, Idang anaknya, akan mengantarkannya kerumahku. Ah, repotnya sahabatku, demikian pikirku. Aku sambut gembira atas kebaikan hatinya, aku memang jarang keluar rumah dan aku menjawab terima kasih untuk oleh-olehnya. Ah, rejeki ada saja, Yenny pasti membawakan getuk, makanan tradisional dari Magelang kesukaanku. Aku tidak akan keluar rumah untuk menunggu si Idang, yang seingatku sudah lebih dari 10 tahun aku tidak berjumpa dengannya.
Menjelang tengah hari sebuah jeep Cherokee masuk ke halaman rumahku. Kuintip dari jendela. Dua orang anak tanggung turun dari jeep itu. Mungkin si Idang datang bersama temannya. Ah, jangkung bener anak Yenny. Aku buka pintu. Dengan sebuah bingkisan si Idang naik ke teras rumah,
"Selamat siang, Tante. Ini titipan mama untuk Tante Erna. Kenalin ini Bonny teman saya, Tante".
Idang menyerahkan kiriman dari mamanya dan mengenalkan temannya padaku. Aku sambut gembira mereka. Oleh-oleh Yenny dan langsung aku simpan di lemari es-ku biar nggak basi. Aku terpesona saat melihat anak Yenny yang sudah demikian gede dan jangkung itu. Dengan gaya pakaian dan rambutnya yang trendy sungguh keren anak sahabatku ini. Demikian pula si Donny temannya, mereka berdua adalah pemuda-pemuda masa kini yang sangat tampan dan simpatik. Ah, anak jaman sekarang, mungkin karena pola makannya sudah maju pertumbuhan mereka jadi subur. Mereka aku ajak masuk ke rumah. Kubuatkan minuman untuk mereka.
Kuperhatikan mata si Donny agak nakal, dia pelototi bahuku, buah dadaku, leherku. Matanya mengikuti apapun yang sedang aku lakukan, saat aku jalan, saat aku ngomong, saat aku mengambil sesuatu. Ah, maklum anak laki-laki, kalau lihat perempuan yang agak melek, biar sudah tuaan macam aku ini, tetap saja matanya melotot. Dia juga pinter ngomong lucu dan banyak nyerempet-nyerempet ke masalah seksual. Dan si Idang sendiri senang dengan omongan dan kelakar temannya. Dia juga suka nimbrung, nambahin lucu sambil melempar senyuman manisnya. Kami jadi banyak tertawa dan cepat saling akrab. Terus terang aku senang dengan mereka berdua. Dan tiba-tiba aku merasa berlaku aneh, apakah ini karena naluri perempuanku atau dasar genitku yang nggak pernah hilang sejak masih gadis dulu, hingga teman-temanku sering menyebutku sebagai perempuan gatal. Dan kini naluri genit macam itu tiba-tiba kembali hadir. Mungkin hal ini disebabkan oleh tingkah si Donny yang seakan-akan memberikan celah padaku untuk mengulangi peristiwa-peristiwa masa muda. Peristiwa-peristiwa penuh birahi yang selalu mendebarkan jantung dan hatiku. Ah, dasar perempuan tua yang nggak tahu diri, makian dari hatiku untukku sendiri. Tetapi gebu libidoku ini demikian cepat menyeruak ke darahku dan lebih cepat lagi ke wajahku yang langsung terasa bengap kemerahan menahan gejolak birahi mengingat masa laluku itu.
"Tante, jangan ngelamun. Cicak jatuh karena ngelamun, lho".
Kami kembali terbahak mendengar kelakar Idang. Dan kulihat mata Donny terus menunjukkan minatnya pada bagian-bagian tubuhku yang masih mulus ini. Dan aku tidak heran kalau anak-anak muda macam Donny dan Idang ini demen menikmati penampilanku. Walaupun usiaku yang memasuki tahun ke 42 aku tetap "fresh" dan "good looking". Aku memang suka merawat tubuhku sejak muda. Boleh dibilang tak ada kerutan tanda ketuaan pada bagian-bagian tubuhku. Kalau aku jalan sama Oke, suamiku, banyak yang mengira aku anaknya atau bahkan "piaraan"nya. Kurang asem, tuh orang. Dan suamiku sendiri sangat membanggakan kecantikkanku. Kalau dia berkesempatan untuk membicarakan istrinya, seakan-akan memberi iming-iming pada para pendengarnya hingga aku tersipu walaupun dipenuhi rasa bangga dalam hatiku. Beberapa teman suamiku nampak sering tergoda untuk mencuri pandang padaku. Tiba-tiba aku ada ide untuk menahan kedua anak ini.
"Hai, bagaimana kalau kalian makan siang di sini. Aku punya resep masakan yang gampang, cepat dan sedap. Sementara aku masak kamu bisa ngobrol, baca tuh majalah atau pakai tuh, komputer si oom. Kamu bisa main game, internet atau apa lainnya. Tapi jangan cari yang 'enggak-enggak', ya..", aku tawarkan makan siang pada mereka.
Tanpa konsultasi dengan temannya si Donny langsung iya saja. Aku tahu mata Donny ingin menikmati sensual tubuhku lebih lama lagi. Si Idang ngikut saja apa kata Donny. Sementara mereka buka komputer aku ke dapur mempersiapkan masakanku. Aku sedang mengiris sayuran ketika tahu-tahu Donny sudah berada di belakangku.
Dia menanyaiku, "Tante dulu teman kuliah mamanya Idang, ya. Kok kayanya jauh banget, sih?".
"Apanya yang jauh?, aku tahu maksud pertanyaan Donny.
"Iya, Tante pantesnya se-umur dengan teman-temanku".
"Gombal, ah. Kamu kok pinter nge-gombal, sih, Don".
"Bener. Kalau nggak percaya tanya, deh, sama Idang", lanjutnya sambil melototi pahaku.
"Tante hobbynya apa?".
"Berenang di laut, skin dan scuba diving, makan sea food, makan sayuran, nonton Discovery di TV".
"Ooo, pantesan".
"Apa yang pantesan?", sergapku.
"Pantesan body Tante masih mulus banget".
Kurang asem Donny ini, tanpa kusadari dia menggiring aku untuk mendapatkan peluang melontarkan kata-kata "body Tante masih mulus banget" pada tubuhku. Tetapi aku tak akan pernah menyesal akan giringan Donny ini. Dan reaksi naluriku langsung membuat darahku terasa serr.., libidoku muncul terdongkrak. Setapak demi setapak aku merasa ada yang bergerak maju. Donny sudah menunjukkan keberaniannya untuk mendekat ke aku dan punya jalan untuk mengungkapkan kenakalan ke-lelakian-nya.
"Ah, mata kamu saja yang keranjang", jawabku yang langsung membuatnya tergelak-gelak.
"Papa kamu, ya, yang ngajarin?, lanjutku.
"Ah, Tante, masak kaya gitu aja mesti diajarin".
Ah, cerdasnya anak ini, kembali aku merasa tergiring dan akhirnya terjebak oleh pertanyaanku sendiri.
"Memangnya pinter dengan sendirinya?", lanjutku yang kepingin terjebak lagi.
"Iya, dong, Tante. Aku belum pernah dengar ada orang yang ngajari gitu-gitu-an".
Ah, kata-kata giringannya muncul lagi, dan dengan senang hati kugiringkan diriku.
"Gitu-gituan gimana, sih, Don sayang?", jawabku lebih progresif.
"Hoo, bener sayang, nih?", sigap Donny.
"Habis kamu bawel, sih", sergahku.
"Sudah sana, temenin si Idang tuh, n'tar dia kesepian", lanjutku.
"Si Idang, mah, senengnya cuma nonton", jawabnya.
"Kalau kamu?", sergahku kembali.
"Kalau saya, action, Tante sayang", balas sayangnya.
"Ya, sudah, kalau mau action, tuh ulek bumbu tumis di cobek, biar masakannya cepet mateng", ujarku sambil memukulnya dengan manis.
"Oo, beres, Tante sayang", dia tak pernah mengendorkan serangannya padaku.
Kemudian dia menghampiri cobekku yang sudah penuh dengan bumbu yang siap di-ulek. Beberapa saat kemudian aku mendekat ke dia untuk melihat hasil ulekannya.
"Uh, baunya sedap banget, nih, Tante. Ini bau bumbu yang mirip Tante atau bau Tante yang mirip bumbu?".
Kurang asem, kreatif banget nih anak, sambil ketawa ngakak kucubit pinggangnya keras-keras hingga dia aduh-aduhan. Seketika tangannya melepas pengulekan dan menarik tanganku dari cubitan di pinggangnya itu. Saat terlepas tangannya masih tetap menggenggam tanganku, dia melihat ke mataku. Ah, pandangannya itu membuat aku gemetar. Akankah dia berani berbuat lebih jauh? Akankah dia yakin bahwa aku juga merindukan kesempatan macam ini? Akankah dia akan mengisi gejolak hausku? Petualanganku? Nafsu birahiku?
Aku tidak memerlukan jawaban terlampau lama. Bibir Donny sudah mendarat di bibirku. Kini kami sudah berpagutan dan kemudian saling melumat. Dan tangan-tangan kami saling berpeluk. Dan tanganku meraih kepalanya serta mengelusi rambutnya. Dan tangan Donny mulai bergeser menerobos masuk ke blusku. Dan tangan-tangan itu juga menerobosi BH-ku untuk kemudian meremasi payudaraku. Dan aku mengeluarkan desahan nikmat yang tak terhingga. Nikmat kerinduan birahi menggauli anak muda yang seusia anakku, 22 tahun di bawah usiaku.
"Tante, aku nafsu banget lihat body Tante. Aku pengin menciumi body Tante. Aku pengin menjilati body Tante. Aku ingin menjilati nonok Tante. Aku ingin ngentot Tante".
Ah, seronoknya mulutnya. Kata-kata seronok Donny melahirkan sebuah sensasi erotik yang membuat aku menggelinjang hebat. Kutekankan selangkanganku mepet ke selangkangnnya hingga kurasakan ada jendolan panas yang mengganjal. Pasti kontol Donny sudah ngaceng banget. Kuputar-putar pinggulku untuk merasakan tonjolannya lebih dalam lagi. Donny mengerang.Dengan tidak sabaran dia angkat dan lepaskan blusku. Sementara blus masih menutupi kepalaku bibirnya sudah mendarat ke ketiakku. Dia lumati habis-habisan ketiak kiri kemudian kanannya. Aku merasakan nikmat di sekujur urat-uratku. Donny menjadi sangat liar, maklum anak muda, dia melepaskan gigitan dan kecupannya dari ketiak ke dadaku. Dia kuak BH-ku dan keluarkan buah dadaku yang masih nampak ranum. Dia isep-isep bukit dan pentilnya dengan penuh nafsu. Suara-suara erangannya terus mengiringi setiap sedotan, jilatan dan gigitannya. Sementara itu tangannya mulai merambah ke pahaku, ke selangkanganku. Dia lepaskan kancing-kancing kemudian dia perosotkan hotpants-ku. Aku tak mampu mengelak dan aku memang tak akan mengelak. Birahiku sendiri sekarang sudah terbakar hebat. Gelombang dahsyat nafsuku telah melanda dan menghanyutkan aku. Yang bisa kulakukan hanyalah mendesah dan merintih menanggung derita dan siksa nikmat birahiku.
Begitu hotpants-ku merosot ke kaki, Donny langsung setengah jongkok menciumi celana dalamku. Dia kenyoti hingga basah kuyup oleh ludahnya. Dengan nafsu besarnya yang kurang sabaran tangannya memerosotkan celana dalamku. Kini bibir dan lidahnya menyergap vagina, bibir dan kelentitku. Aku jadi ikutan tidak sabar.
"Donny, Tante udah gatal banget, nih".
"Copot dong celanamu, aku pengin menciumi kamu punya, kan".
Dan tanpa protes dia langsung berdiri melepaskan celana panjang berikut celana dalamnya. Kontolnya yang ngaceng berat langsung mengayun kaku seakan mau nonjok aku. Kini aku ganti yang setengah jongkok, kukulum kontolnya. Dengan sepenuh nafsuku aku jilati ujungnya yang sobek merekah menampilkan lubang kencingnya. Aku merasakan precum asinnya saat Donny menggerakkan pantatnya ngentot mulutku. Aku raih pahanya biar arah kontolnya tepat ke lubang mulutku.
"Tante, aku pengin ngentot memek Tante sekarang".
Aku tidak tahu maunya, belum juga aku puas mengulum kontolnya dia angkat tubuhku. Dia angkat satu kakiku ke meja dapur hingga nonokku terbuka. Kemudian dia tusukkannya kontolnya yang lumayan gede itu ke memekku. Aku menjerit tertahan, sudah lebih dari 3 bulan Oke, suamiku nggak nyenggol-nyenggol aku. Yang sibuklah, yang rapatlah, yang golflah. Terlampau banyak alasan untuk memberikan waktunya padaku. Kini kegatalan kemaluanku terobati, Kocokkan kontol Donny tanpa kenal henti dan semakin cepat. Anak muda ini maunya serba cepat. Aku rasa sebentar lagi spermanya pasti muncrat, sementara aku masih belum sepenuhnya puas dengan entotannya. Aku harus menunda agar nafsu Donny lebih terarah. Aku cepat tarik kemaluanku dari tusukkannya, aku berbalik sedikit nungging dengan tanganku bertumpu pada tepian meja. Aku pengin dan mau Donny nembak nonokku dari arah belakang. Ini adalah gaya favoritku. Biasanya aku akan cepat orgasme saat dientot suamiku dengan cara ini. Donny tidak perlu menunggu permintaanku yang kedua. Kontolnya langsung di desakkan ke memekku yang telah siap untuk melahap kontolnya itu.
Nah, aku merasakan enaknya kontol Donny sekarang. Pompaannya juga lebih mantab dengan pantatku yang terus mengimbangi dan menjemput setiap tusukan kontolnya. Ruang dapur jadi riuh rendah.
Selintas terpikir olehku, di mana si Idang. Apakah dia masih berkutat dengan komputernya? Atau dia sedang mengintip kami barangkali? Tiba-tiba dalam ayunan kontolnya yang sudah demikian keras dan berirama Donny berteriak.
"Dang, Idang, ayoo, bantuin aku .., Dang..".
Ah, kurang asem anak-anak ini. Jangan-jangan mereka memang melakukan konspirasi untuk mengentotku saat ada kesempatan disuruh mamanya untuk mengirimkan oleh-oleh itu. Kemudian kulihat Idang dengan tenangnya muncul menuju ke dapur dan berkata ke Donny
"Gue kebagian apanya Don?'
"Tuh, lu bisa ngentot mulutnya. Dia mau kok".
Duh, kata-kata seronok yang mereka ucapkan dengan kesan seolah-olah aku ini hanya obyek mereka. Dan anehnya ucapan-ucapan yang sangat tidak santun itu demikian merangsang nafsu birahiku, sangat eksotik dalam khayalku. Aku langsung membayangkan seolah-olah aku ini anjing mereka yang siap melayani apapun kehendak pemiliknya.
Aku melenguh keras-keras untuk merespon gaya mereka itu. Kulihat dengan tenangnya Idang mencopoti celananya sendiri dan lantas meraih kepalaku dengan tangan kirinya, dijambaknya rambutku tanpa menunjukkan rasa hormat padaku yang adalah teman mamanya itu, untuk kemudian ditariknya mendekat ke kontolnya yang telah siap dalam genggaman tangan kanannya. Kontol Idang nampak kemerahan mengkilat. Kepalanya menjamur besar diujung batangnya. Saat bibirku disentuhkannya aroma kontolnya menyergap hidungku yang langsung membuat aku kelimpungan untuk selekasnya mencaplok kontol itu. Dengan penuh kegilaan aku lumati, jilati kulum, gigiti kepalanya, batangnya, pangkalnya, biji pelernya. Tangan Idang terus mengendalikan kepalaku mengikuti keinginannya. Terkadang dia buat maju mundur agar mulutku memompa, terkadang dia tarik keluar kontolnya menekankan batangnya atau pelirnya agar aku menjilatinya.
Duh, aku mendapatkan sensasi kenikmatan seksualku yang sungguh luar biasa. Sementara di belakang sana si Donny terus menggenjotkan kontolnya keluar masuk menembusi nonoknya sambil jari-jarinya mengutik-utik dan disogok-sogokkannya ke lubang pantatku yang belum pernah aku mengalami cara macam itu. Oke, suamiku adalah lelaki konvensional. Saat dia menggauliku dia lakukan secara konvensional saja. Sehingga saat aku merasakan bagaimana perbuatan teman dan anak sahabatku ini aku merasakan adanya sensasi baru yang benar-benar hebat melanda aku. Kini 3 lubang erotis yang ada padaku semua dijejali oleh nafsu birahi mereka. Aku benar-benar jadi lupa segala-galanya. Aku mengenjot-enjot pantatku untuk menjemputi kontol dan jari-jari tangan Donny dan mengangguk-anggukkan kepalaku untuk memompa kontol Idang.
"Ah, Tante, mulut Tante sedap banget, sih. Enak kan, kontolku. Enak, kan? Sama kontol Oom enak mana? N'tar Tante pasti minta lagi, nih".
Dia percepat kendali tangannya pada kepalaku. Ludahku sudah membusa keluar dai mulutku. Kontol Idang sudah sangat kuyup. Sesekali aku berhenti sessat untuk menelan ludahku.
Tiba-tiba Donny berteriak dari belakang, "Aku mau keluar nih, Tante. Keluarin di memek atau mau diisep, nih?".
Ah, betapa nikmatnya bisa meminum air mani anak-anak ini. Mendengar teriakan Donny yang nampak sudah kebelet mau muncratkan spermanya, aku buru-buru lepaskan kontol Idang dari mulutku. Aku bergerak dengan cepat jongkok sambil mengangakan mulutku tepat di ujung kontol Donny yang kini penuh giat tangannya mengocok-ocok kontolnya untuk mendorong agar air maninya cepat keluar.
Kudengar mulutnya terus meracau, "Minum air maniku, ya, Tante, minum ya, minum, nih, Tante, minum ya, makan spermaku ya, Tante, makan ya, enak nih, Tante, enak nih air maniku, Tante, makan ya..".
Air mani Donny muncrat-muncrat ke wajahku, ke mulutku, ke rambutku. Sebagian lain nampak mengalir di batang dan tangannya. Yang masuk mulutku langsung aku kenyam-kenyam dan kutelan. Yang meleleh di batang dan tanganannya kujilati kemudian kuminum pula. Kemudian dengan jari-jarinya Donny mengorek yang muncrat ke wajahku kemudian disodorkannya ke mulutku yang langsung kulumati jari-jarinya itu. Ternyata saat Idang menyaksikan apa yang dikerjakan Donny dia nggak mampu menahan diri untuk mengocok-ocok juga kontolnya. Dan beberapa saat sesudah kontol Donny menyemprotkan air maninya, menyusul kontol Idang memuntahkan banyak spermanya ke mulutku. Aku menerima semuanya seolah-olah ini hari pesta ulang tahunku. Aku merasakan rasa yang berbeda, sperma Donny serasa madu manisnya, sementara sperma Idang sangat gurih seperti air kelapa muda.
Dasar anak muda, nafsu mereka tak pernah bisa dipuaskan. Belum sempat aku istirahat mereka mengajak aku ke ranjang pengantinku. Mereka nggak mau tahu kalau aku masih mengagungkan ranjang pengantinku yang hanya Oke saja yang boleh ngentot aku di atasnya. Setengahnya mereka menggelandang aku memaksa menuju kamarku. Aku ditelentangkannya ke kasur dengan pantatku berada di pinggiran ranjang. Idang menjemput satu tungkai kakiku yang dia angkatnya hingga nempel ke bahunya. Dia tusukan kontolnya yang tidak surut ngacengnya sesudah sedemikian banyak menyemprotkan sperma untuk menyesaki memekku, kemudian dia pompa kemaluanku dengan cepat kesamping kanan, kiri, ke atas, ke bawah dengan penuh irama. Aku merasakan ujungnya menyentuh dinding rahimku dan aku langsung menggelinjang dahsyat. Pantatku naik turun menjemput tusukan-tusukan kontol legit si Idang. Sementara itu Donny menarik tubuhku agar kepalaku bisa menciumi dan mengisap kontolnya. Kami bertiga kembali mengarungi samudra nikmatnya birahi yang nikmatnya tak terperi.
Hidungku menikmati banget aroma yang menyebar dari selangkangan Donny. Jilatan lidah dan kuluman bibirku liar melata ke seluruh kemaluan Donny. Kemudian untuk memenuhi kehausanku yang amat sangat, paha Donny kuraih ke atas ranjang sehingga satu kakinya menginjak ke kasur dan membuat posisi pantatnya menduduki wajahku. Dengan mudah tangan Donny meraih dan meremasi susu-susu dan pentilku. Sementara hidungku setengah terbenam ke celah pantatnya dan bibirku tepat di bawah akar pangkal kontolnya yang keras menggembung. Aku menggosok-gosokkan keseluruhan wajahku ke celah bokongnya itu sambil tangan kananku ke atas untuk ngocok kontol Donny. Duh, aku kini tenggelam dalam aroma nikmat yang tak terhingga. Aku menjadi kesetanan menjilati celah pantat Donny. Aroma yang menusuk dari pantatnya semakin membuat aku liar tak terkendali. Sementara di bawah sana Idang yang rupanya melihat bagaimana aku begitu liar menjilati pantat Donny langsung dengan buasnya menggenjot nonokku. Dia memperdengarkan racauan nikmatnya,
"Tante, nonokmu enak, Tante, nonokmu aku entot, Tante, nonokmu aku entot, ya, enak, nggak, heh?, Enak ya, kontolku, enak Tante, kontolku?".
Aku juga membalas erangan, desahan dan rintihan nikmat yang sangat dahsyat. Dan ada yang rasa yang demikian exciting merambat dari dalam kemaluanku. Aku tahu orgasmeku sedang menuju ke ambang puncak kepuasanku. Gerakkanku semakin menggila, semakin cepat dan keluar dari keteraturan. Kocokkan tanganku pada kontol Donny semakin kencang. Naik-naik pantatku menjemputi kontol Idang semakin cepat, semakin cepat, cepat, cepat, cepat.
Dan teriakanku yang rasanya membahana dalam kamar pengantinku tak mampu kutahan, meledak menyertai bobolnya pertahanan kemaluanku. Cairan birahiku tumpah ruah membasah dab membusa mengikuti batang kontol yang masih semakin kencang menusukki nonokku. Dan aku memang tahu bahwa Idang juga hendak melepas spermanya yang kemudian dengan rintihan nikmatnya akhirnya menyusul sedetik sesudah cairan birahiku tertumpah. Kakiku yang sejak tadi telah berada dalam pelukannya disedoti dan gigitinya hingga meninggalkan cupang-cupang kemerahan.
Sementara Donny yang sedang menggapai menuju puncak pula, meracau agar aku mempercepat kocokkan kontolnya sambil tangannya keras-keras meremasi buah dadaku hingga aku merasakan pedihnya. Dan saat puncaknya itu akhirnya datang, dia lepaskan genggaman tanganku untuk dia kocok sendiri kontolnya dengan kecepatan tinggi hingga spermanya muncrat semburat tumpah ke tubuhku. Aku yang tetap penasaran, meraih batang yang berkedut-kedut itu untuk kukenyoti, mulutku mengisap-isap cairan maninya hingga akhirnya segalanya reda. Jari-jari tanganku mencoleki sperma yang tercecer di tubuhku untuk aku jilat dan isap guna mengurangi dahaga birahiku.
Sore harinya, walaupun aku belum sempat merasakan getuk kirimannya yang kini berada dalam lemari esku dengan penuh semangat dan terima kasih aku menelepon Yenny.
"Wah, terima kasih banget atas kirimannya, ya Yen. Karena sudah lama aku tidak merasakannya, huh, nikmat banget rasanya. Ada gurihnya, ada manisnya, ada legitnya", kataku sambil selintas mengingat kenikmatan yang aku raih dari Idanganaknya dan Donny temannya.
Yenny tertawa senang sambil menjawab, "Nyindir, ya. Memangnya kerajinan tanduk dari Pucang (sebuah desa di utara Magelang yang menjadi pusat kerajinan dari tanduk kerbau) itu serasa getuk kesukaanmu itu. N'tar deh kalau aku pulang lagi, kubawakan sekeranjang getukmu".
Aku tersedak dan terbatuk-batuk. Mati aku, demikian pikirku. Ternyata bingkisan dalam kulkas itu bukan getuk kesukaanku.
Langganan:
Postingan (Atom)